Senin, 19 Desember 2011

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 14


Nama Anggota Kelompok          :
1. PASKALINA NOTANUBUN (25210323)(notanubun_paskalina)
2. MUHAMMAD IHSAN (24210725) (icank)
3.  ADINDA PUTRA PANGESTU (20210165) (adinda)
4. RIYANI KUSUMAWATI ( 26210084) (moshi2_hallo)
5. TIRSA VIRGINA NUR HADIST (26210908) (tirsa)
6. ZALDI MASRURI (28210827) (zaldimasruri)
Kelas    : 2EB10

KOPERASI DAN KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU
ABSTRAK
Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah nasional Indonesia. Peristiwa yang  menandai lahirnya Orde Baru itu, tidak hanya telah menyebabkan  dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI) serta dilarangnya  penyebarluasan ajaran Marxisme-Leninisme, tapi juga telah menyebabkan terjadinya perubahan mendasar dalam tatanan sosial dan politik Indonesia. Peranan politisi sipil yang dalam era pemerintahan Soekarno cenderung sangat menonjol, selanjutnya diambil alih oleh para perwira tinggi ABRI. Sedangkan sistem politik multi partai-multi ideologi, berubah wajah menjadi sistem politik tiga organisasi politik dengan asas tunggal (Crouch, 1986; Liddle, 1992). Sementara itu, walaupun tidak banyak mendapat perhatian, pergeseran corak yang cukup mendasar terjadi dalam lingkungan koperasi Indonesia. Sebagaimana dapat disaksikan dalam praktik di lapangan, corak koperasi secara keseluruhan dapat digolongkan berdasarkan tiga kategori: berdasarkan bidang usaha, berdasarkan jenis komoditi yang diusahakan, dan berdasarkan golongan fungsional para anggotanya. Bila berdasarkan bidang usaha koperasi dikelompokkan sesuai dengan ragam fungsi yang dilakukannya, dan berdasarkan jenis komoditi yang diusahakan koperasi dikelompokkan sesuai dengan ragam komoditi yang diusahakan oleh masing-masing koperasi, maka berdasarkan golongan fungsional anggotanya koperasi dikelompokkan sesuai dengan profesi atau jenis pekerjaan para anggotanya (lihat Penjelasan Pasal 17 UU No.12/1967). Sebelum tahun 1967 koperasi Indonesia pada umumnya dibangun berdasarkan dua kategori pertama (Kamaralsjah, 1954: 16). Jenis koperasi yang menonjol ketika itu adalah koperasi kredit dan koperasi produksi. Tetapi setelah 1967, corak koperasi yang berkembang di Indonesia cenderung berubah.
PENDAHULUAN
 Koperasi Unit Desa (KUD), jenis koperasi yang sangat pesat perkembangannya dalam era Orde Baru adalah koperasi golongan fungsional. Hal itu tidak hanya terjadi dalam lingkungan pegawai negeri dan ABRI, tapi juga dalam lingkungan karyawan, wanita, mahasiswa, sekolah, pesantren, karyawan, serta dalam lingkungan berbagai golongan fungsional lainnya.  Faktor apakah yang melatarbelakangi perubahan corak koperasi itu? Apakah perubahan corak tersebut semata-mata disebabkan oleh perubahan kebijakan perkoperasian atau adakah kaitannya dengan perubahan orientasi yang terjadi dalam pentas ekonomi-politik nasional? Bila perubahan corak itu berkaitan dengan perubahan orientasi ekonomi-politik nasional, pertimbanganpertimbangan apakah yang melatarbelakangi hal tersebut? Apakah hal itu dilakukan semata-mata berdasarkan pertimbangan rasional ekonomi, atau adakah kaitannya dengan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik tertentu? Akhirnya, apakah dampak perubahan corak tersebut terhadap perkembangan koperasi sepanjang era Orde Baru?
  • Perubahan Kriteria Keanggotaan
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut adalah dengan mengupas hakekat dan prinsip koperasi. Koperasi, sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta (Hatta, 1954: 190 dan Book, 1994: 33), pada dasarnya adalah sebuah sistem nilai. Sebagai sebuah
sistem nilai, koperasi tidak hanya ingin menampilkan perbedaan bentuknya dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Koperasi sesungguhnya ingin menegakkan seperangkat nilai tertentu dalam bidang perekonomian. Bahwa secara struktural koperasi tampil berbeda dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain, hal itu semata-mata merupakan artikulasi dari nilai-nilai yang diembannya tersebut.  Sebagai sebuah sistem nilai maka nilai-nilai koperasi dapat dikenali melalui apa yang disebut sebagai sendi dasar atau prinsip-prinsip koperasi. Sebagaimana dikemukakan oleh pasal 5 UU Koperasi No. 25/1992, prinsip koperasi Indonesia secara keseluruhan meliputi lim bersifat sukarela dan terbuka; (b) pengelolaan dilakukan secara demokratis; (c) pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan jasa usaha masing-masing anggota; (d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; dan (e) kemandirian.
Berdasarkan kelima prinsip tersebut dapat diketahui bahwa salah satu sendi dasar atau prinsip koperasi adalah keterbukaan keanggotaan. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 25/1992, yang dimaksud dengan keanggotaan yang bersifat terbuka adalah bahwa dalam keanggotaan koperasi tidak diberlakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apa pun. Artinya, setiap orang yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dilakukan oleh koperasi, terlepas dari suku, agama, ras, golongan, atau pun jenis pekerjaannnya, dapat menjadi anggota sebuah koperasi. Dengan demikian, jangankan  para karyawan koperasi (Hatta, 1954: 215), setiap pelanggan koperasi pun memiliki hak untuk menjadi anggota sebuah koperasi (Book, 1994: 41).   Dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang lain, prinsip keterbukaan keanggotaan ini menempati kedudukan yang sangat terhormat dalam sistem nilai koperasi. Ia boleh dikatakan merupakan jati diri dari setiap badan usaha yang ingin menyebut dirinya sebagai koperasi (Book, 1994). Tetapi dalam UU Koperasi No. 12/1967, yang disusun sebagai pengganti UU Koperasi No. 14/1965, prinsip keterbukaan keanggotaan itu cenderung dimanipulasi. Hal itu antara lain dilakukan dengan mengubah kriteria keanggotaan koperasi, yaitu dari yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dilakukan koperasi (pasal 18 UU No. 14/1958), menjadi berdasarkan kesamaan kepentingan dalam usaha koperasi (pasal 11 UU No. 12/1967). Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 17 UU No. 12/1967, yang dimaksud dengan anggota yang memiliki kesamaan kepentingan adalah, “suatu golongan dalam masyarakat yang homogen karena  kesamaan aktivitas/kepentingan ekonominya.”  Menyusul perubahan kriteria keanggotaan itu maka corak koperasi yang berkembang di Indonesia turut  berubah. Sebelum tahun 1967, jenia hal: (a) keanggotaa koperasi yang banyak berkembang di  Indonesia adalah koperasi kredit dan koperasi produksi.
Pada tahun 1953, dari sekitar 8.223 koperasi yang ada, koperasi kredit tercatat sebagai koperasi terbanyak. Sedangkan koperasi produksi tercatat sebanyak 1.237 unit, terdiri dari 700 koperasi pertanian, 225 koperasi perindustrian dan kerajinan, 93 koperasi perikanan, 20 koperasi peternakan, dan sekitar 199 koperasi produksi lainnya (Hatta, 1954: 236). Tetapi setelah 1967, terutama setelah dikeluarkannya Inpres No. 4/1973 tentang BUUD/KUD, perkembangan koperasi secara umum cenderung terbagi menjadi dua kategori: Koperasi Unit Desa (KUD) dan koperasi-koperasi non-KUD. KUD adalah koperasi serba usaha yang beranggotakan penduduk desa dan berlokasi di daerah perdesaan (Inpres No. 4/1973 dan Wahju Sukotjo dalam Hendrojogi, 1985: 16). Daerah kerjanya mencakup satu wilayah kecamatan. Sedangkan koperasi-koperasi non-KUD mencakup berbagai jenis koperasi lainnya seperti koperasi  golongan fungsional, koperasi produsen, koperasi konsumen, dan koperasi simpan pinjam.   Yang menarik, selain KUD yang pengembangannya memang dilakukan secara besar-besaran oleh Orde Baru, jenis koperasi yang sangat pesat perkembangannya setelah tahun 1967 adalah koperasi golongan fungsional. Pada tahun 1976 misalnya, dari sekitar 22.980 koperasi yang ada, jumlah KUD dan koperasi golongan fungsional masing-masing tercatat sebanyak 8.878 unit dan 7.875 unit. Sedangkan koperasi produsen, koperasi konsumen, dan koperasi simpan pinjam, masing-masing hanya berjumlah sebanyak 2.218 unit, 1.060 unit, dan 1.026 unit (Puslatpenkop, 1989: 291). Sedangkan pada tahun 1994, dari sekitar 44.294 unit koperasi, koperasi non-KUD mencapai 35.273 unit (RI, 1995: VI/82).
implikasi utama dari perkembangan koperasi golongan fungsional itu adalah berubahnya sifat keanggotaan koperasi  dari terbuka menjadi tertutup. Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, keanggotaan koperasi dalam koperasi golongan fungsional hanya terbuka bagi mereka yang memiliki profesi sejenis. Bahkan, karena di belakang nama tiap-tiap koperasi golongan fungsional tercantum nama suatu instansi tertentu, keanggotaan koperasi jenis ini hanya berlaku bagi mereka yang bekerja pada instansi yang bersangkutan. Seorang konsumen atau karyawan pada Koperasi Serba Usaha Dosen Universitas X misalnya, selama tidak terdaftar sebagai dosen pada universitas yang bersangkutan, tidak mungkin diterima menjadi anggota koperasi itu.  Perubahan corak dan pembatasan anggota yang dilatarbelakangi oleh perubahan kriteria keanggotaan koperasi itu tentu tidak dilakukan tanpa alasan.
Menurut pasal 17 UU No. 12/1967, alasannya adalah untuk tujuan efisiensi. Namun bila ditelusuri karakterisitik dan sejarah perkembangan koperasi, serta orientasi ekonomi-politik Orde Baru,  alasan tersebut jauh dari memuaskan. Alasan yang lebih mendasar tampaknya  justru bersumber pada karakteristik koperasi sendiri.  Sesuaidengan nilai-nilai yang diembannya, koperasi adalah perkumpulan orang, bukan perkumpulan  modal (Book, 1994: 50). Bahkan, sebagaimana dikemukakan dalam pasal 1 UU No. 25/1992, koperasi juga diakui sebagai gerakan ekonomi rakyat. Dengan karakterisitik seperti itu, koperasi memiliki dimensi yang sangat berbeda  dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Sebagai perkumpulan orang dan gerakan ekonomi rakyat yang juga berfungsi untuk mendemokratisasikan perekonomian nasional (lihat pasal 4 UU No. 12/1967), koperasi berpeluang untuk berkembang dan atau dikembangkan menjadi kekuatan politik (Soedjono dalam Hendrojogi, 1985 dan Baswir, 1993: 105). Tetapi karena secara historis koperasi dianjurkan untuk bersikap netral dalam bidang politik (Burger, 1954: 153), ia sekurang-kurangnya dapat digunakan sebagai alat untuk menggalang dukungan politik.
Sebab itu wajar bila dalam sejarah perkembangan koperasi di Indonesia, koperasi hampir selalu menjadi ajang rebutan partai-partai politik yang ada. Pada tahun 1950-an misalnya, gerakan koperasi cenderung sangat dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Hal itu tampak pada kegigihan PNI dalam memperjuangkan UU No. 79/1958 tentang perkumpulan koperasi (Kamaralsyah dkk., 1987: 18). Sedangkan dalam periode 1960 -1965, yang dikenal sebagai era demokrasi terpimpin, gerakan koperasi cenderung sanga.
  • Keterbelakangan Koperasi
Pertanyaannya adalah, setelah Orde Baru memegang tampuk kekuasaan selama lebih dari 30 tahun, sedangkan posisi koperasi dibandingkan dengan pelaku-pelaku usaha yang lain masih tetap terbelakang, bagaimanakah kaitan antara keterbelakangan koperasi dengan fenomena intervensi legal dan institusional tadi harus diterangkan?  Artinya, apakah kondisi keterbelakangan yang dialami koperasi sepanjang era Orde Baru itu juga berkaitan dengan fenomena intervensi legal dan institusional tersebut.
Nilai Aset dan Nilai Usaha BUMN, Konglomerat, dan Koperasi Tahun 1993 dalam trilyun rupiah (Diolah dari beberapa sumber oleh Revrisond Baswir)
Nilai Aset % Nilai Usaha %  BUMN Rp. 269.0 53.8 Rp 80.0 34.3 Konglomerasi* Rp. 227.0 45.4 Rp. 144.0 61.7  Koperasi Rp. 4.0 0.8 Rp. 9.5 4.0 Jumlah Rp. 500.0 100.0 Rp. 233.5 100.0
Catatan: (*) Tidak termasuk usaha swasta non konglomerasi.
Setelah mengalami penyusutan secara besar-besaran pada tahun 1967, perkembangan koperasi dalam era Orde Baru sebenarnya tergolong lumayan. Hal itu tidak hanya dapat disaksikan pada perkembangan kelembagaan koperasi, tapi juga pada perkembangan usahanya Tetapi bila dilihat dari sudut intervensi legal dan institusional yang menelikung perkembangan koperasi sebagaimana dikemukakan tadi, kondisi keterbelakangan koperasi itu sebenarnya mudah dipahami. Dengan berubahnya kriteria keanggotaan dan penjenisan koperasi berdasarkan kesamaan aktivitas/ kepentingan ekonomi para anggotanya, keberadaan koperasi secara sengaja diarahkan hanya sebagai sebuah usaha sampingan. Bahkan, dengan lebih ditekankannya pengembangan koperasi dalam lingkungan masyarakat desa, pegawai negeri dan ABRI, serta golongan fungsional lainnya (yang secara politik cenderung sangat terkooptasi), pembangunan koperasi tampaknya memang sengaja diarahkan semata-mata sebagai usaha sampingan bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan, modal, dan posisi tawar politik terbatas.   Sebaliknya, bila dilihat dari sudut orientasi ekonomi-politik Orde Baru,
kondisi keterbelakangan koperasi itu lebih tepat disebut sebagai sebuah conditio sine qua non. Artinya, dengan menelikung perkembangan koperasi, Orde Baru tidak hanya berhasil mengubah corak dan watak ideologis koperasi, tapi sekaligus berhasil mengintegrasikannya sebagai bagian dari struktur kekuasaan. Hal tersebut sejalan dengan watak Orde Baru sebagai sebuah negara otoriter birokratik rente (Budiman, 1991: 70), baik untuk menjaga stabilitas kekuasan maupun untuk  menjamin kesinambungan strategi pembangunannya. Dengan cara itulah antara lain Orde Baru melestarikan kekuasaannya selama 32 tahun. Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263260 Implikasi Kebijakan Berdasarkan uraian panjang lebar di muka, secara umum dapat disimpulkan betapa sangat besarnya  peranan faktor-faktor politik dan kekuasaan terhadap perikehidupan bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto ternyata tidak hanya telah menyebabkan terjadinya pergeseran corak dan orientasi politik nasional, tapi juga telah menyebabkan terjadinya pergeseran corak dan orientasi ekonomi Indonesia secara mendasar. Bahkan, walaupun jarang mendapat perhatian, peristiwa itu juga telah menyebabkan terjadinya perubahan corak dan watak koperasi Indonesia.
Yang menarik, perubahan corak dan watak koperasi yang berlangsung sepanjang era Orde Baru itu ternyata tidak hanya terjadi sebagai akibat berubahnya undang-undang atau peraturan perkoperasian. Tetapi disertai pula oleh berlangsungnya intervensi institusional ke dalam organisasi gerakan koperasi. Sejalan dengan perubahan tatanan politik nasional, jabatan-jabatan teras dalam lingkungan Departemen Koperasi cenderung dipangku oleh para anggota ABRI dan KBA. Sedangkan keterlibatan anggota ABRI dan KBA sebagai pimpinan organisasi gerakan koperasi cenderung sangat menonjol.
Dengan latar belakang seperti itu, keterbelakangan koperasi  dibandingkan kelompok-kelompok usaha yang lain dalam era Orde Baru, sebenarnya hanyalah konsekuensi logis dari perubahan orientasi ekonomipolitik nasional. Secara empirik hal tersebut berkaitan dengan intervensi legal dan institusional yang dialami oleh koperasi. Sebab itu, guna meningkatkan perkembangan koperasi di masa depan, kebijakan perkoperasian yang hanya berorientasi pada pembenahan kondisi internal koperasi tidak akan banyak artinya. Demikian pula halnya dengan  penyediaan fasilitas permodalan atau berbagai fasilitas kemudahan lainnya.  Tindakan-tindakan itu, selain akan semakin memperburuk tingkat ketergantungan koperasi terhadap kekuasaan, hanya akan menyebabkan semakin merajalelanya praktik korupsi dan kolusi dalam lingkungan perkoperasian.  Revrisond Baswir
  • KESIMPULANAgar di masa mendatang koperasi dapat berkembang secara demokratis dan mandiri, berbagai bentuk intervensi yang selama ini menelikung perkembangan koperasi harus segera  diakhiri. Penyusunan UU Koperasi misalnya, harus diusahakan secara maksimal agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi universal. Keberadaan Departemen Koperasi harus dibatasi sedemikian rupa atau dihapuskan sama sekali. Sedangkan keberadaan Dekopin sebagai wadah tunggal gerakan koperasi harus dianulir, yaitu untuk memberi ruang bagi tumbuhnya organisasi-organisasi gerakan koperasi alternatif. Tanpa sejumlah tindakan tersebut, berlanjutnya penyalahgunaan kekuasaan untuk menelikung perkembangan koperasi akan sulit dihindari.
  • DAFTAR PUSTAKA
  • http://www.paramadina.ac.id/downloads/Jurnal%20Universitas%20Paramadina/Jurnal%20UPM%20Vol-2%20No-3%2C%2005-2003/233-revrisond.pdf

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 13


Nama Anggota Kelompok          :
1. PASKALINA NOTANUBUN (25210323)(notanubun_paskalina)
2. MUHAMMAD IHSAN (24210725) (icank)
3.  ADINDA PUTRA PANGESTU (20210165) (adinda)
4. RIYANI KUSUMAWATI ( 26210084) (moshi2_hallo)
5. TIRSA VIRGINA NUR HADIST (26210908) (tirsa)
6. ZALDI MASRURI (28210827) (zaldimasruri)
Kelas    : 2EB10
KEDUDUKAN DAN KIPRAH KOPERASI DALAM MENDUKUNG PEMBERDAYAAN UMKM
ABSTRAK
Upaya pengetasan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya  adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber –sumber pembiayaan bagi usaha kecil dan usaha menengah(UMKM) yang pada dasarnya meruoakan bagian dari masyarakat miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif. Meskipun konstibusi UKM semakin nesar, namun hambatan yang dihadapinya besar pula, diantaranya kesulitan mengakses sumber-sumber pembiaayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal.
Untuk mewujudkan hal  tersebut, terdapat pula dua hal yang layak di rekomendasikan: pertama, memperkuat aspek kelembagaan UMKM sebagaimana yang selama ini berjalan pada lembaga-lembaga keuangan dan yang kjedua komitmen yang kuat pada pengembagan UMKM yang sinergi. Dan pada pada akhirnya untuk memutus rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan cara produktif.
Pendahuluan
Sesuai dengan devinisi negara, tujuan bernegara dan ketentuan-ketentuanadanya suatu negara, maka perhatian pemerintah terhadap kehidupan rakyatnyasangat diperlukan, karena rakyat merupakan salah satu komponen berdirinyasuatu Negara. Bagi Indonesia, rakyat bukan hanya sebagai indikator keberadaannegara, tetapi juga merupakan penegak kedaulatan yang menduduki tempat palingtinggi dalam konstitusi. (UUD 1945). Keinginan untuk mensejahterakan semuarakyat juga merupakan amanat konstitusi dan oleh karena sebagian besar (87,4%)rakyat Indonesia adalah kelompok usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah(UMKM), maka pemberdayaan ekonomi rakyat dapat diidentikkan denganpemberdayaan UMKM.Keinginan menciptakan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat dalambentuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui perkuatan UMKM sudahdiikrarkan sejak awal masa kemerdekaan dan untuk itu telah dilakukan berbagaiprogram pembangunan, walaupun sampai sekarang ini masih ada sekelompokmasyarakat yang tergolong miskin. Belum optimalnya keberhasilan pembangunanekonomi dari rezim ke rezim yang lain nampaknya tidak terlepas dari konsepsidasar pembangunan yang belum sepenuhnya mengutamakan kepentinganpemberdayaan ekonomi rakyat. Indikator dari kondisi tersebut antara lain terlihatdari semakin menyurutnya peranan koperasi dalam pembangunan ekonomi,bahkan sebagian ekonom sekarang malah mempertanyakan apakah koperasi merupakan alternatif kelembagaan uuntuk memberdayakan UMKM, atau hanyamerupakan salah satu solusi. Timbulnya pertanyaan tersebut dari satu sisi terlihatwajar-wajar saja karena banyak kegiatan-kegiatan yang jika dilakukan olehkoperasi tidak berhasil (keberhasilannya lebih kecil dibandingakan jikadilaksanakan oleh pihak-pihak lain). Pertanyaan terlihat janggal, memperhatikanbahwa keberadaan dan kiprah koperasi merupakan penjabaran dari ekonomikekeluargaan yang secara tegas telah dinyatakan dalam UUD 1945.Memang banyak kegiatan yang dilakukan oleh koperasi belum mencapaikeberhasilan seperti yang dilakukan oleh badan usaha lainnya, tetapi dalam hal iniperlu dipertimbangkan juga banyaknya faktor yang dapat mendorong ataumenghambat kegiatan usaha koperasi, Faktor-faktor tersebut antara lain, sebagianpengelola koperasi belum memiliki kepekaan bisnis(sense of bisnis), karena padaawalnya mereka memang bukan orang-orang profesional. Demikian juga jaringanbisnis koperasi dapat dikatakan hampir tidak berperan, serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kondisi lingkungan ekonomi dan profesionalisme. Demikianjuga faktor lingkungan (eksternal) yang berkaitan dengan masalah kebijaksanaanpemerintah, serta lingkungan usaha ekonomi yang dibangun oleh banyak pelakuusaha lainnya, tidak dapat diharapkan berperan untuk mendukung keberhasilankoperasi.Masalah kedua yang dihadapi koperasi adalah dalam membangunpartisipasi anggota koperasinya. Dalam hal ini banyak pakar antara lain Nasution1991 yang mengatakan “Berikan kebutuhan yang paling diperlukan olehanggota”. Azas one man one fote yang menjadi slogan koperasi belum menjadidaya tarik bagi masyarakat untuk masuk menjadi anggota koperasi. Demikianjuga asas yang merupakan prinsip dasar koperasi ini, belum dapat dipahami olehsebagian besar anggota koperasi dengan tingkat kesejahteraan, dan pendidikanmasih rendah, serta lingkungan sosial budaya masih kurang kondusif (adanyahubungan patron klient, ewuh pakewuh, ndoro kawulo dan lain-lain).Memang banyak konsep pembangunan partisipasi anggota koperasi yangbersumber dari koperasi-Koperasi di luar negeri, tetapi konsep tersebut tidakdapat diaplikasikan karena kondisi faktor-faktor lingkungan ekonomi sosial danbudaya tidak sama. Faktor yang menyebabkan tidak konsistennya penilaian terhadapkeberhasilan pembangunan koperasi adalah “Belum adanya standar baku tentangindikator keberhasilan koperasi, sehingga orang menilai koperasi dari indikatoryang dibangunnya sendiri. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa sesuai dengan3azas dan prinsip dasar koperasi tujuan pembangunan koperasi adalah untukmendukung pembangunan kemampuan ekonomi dari anggotanya. Keberhasilankoperasi akan dicirikan oleh keberhasilan pembangunan ekonomi anggotanya,sebagai akibat dari adanya hubungan dalam kegiatan ekonomi antara anggotadengan koperasi. Dalam memenuhi kebutuhan anggota koperasi seharusnya dapatberhubungan langsung dengan produsen. Hubungan langsung ini dapatmengurangi biaya-biaya diluar biaya produksi seperti biaya pembungkus, danbiaya pemasaran sehingga harga dasar yang diperoleh koperasi dapat lebih murah.Berbagai masalah yang dihadapi dalam pembangunan koperasi tersebut diatas, mungkin dapat dijadikan bahan untuk menjawab pertanyaan tentangkedudukan koperasi dalam mendukung pemberdayaan UMKM. Dalam hal iniperlu diperhatikan bahwa dari aspek normatif dalam kontek pembangunanekonomi di Indonesia koperasi dianggap sebagai alat bagi anggota untukmencapai kesejahteraan ekonomi, alat pemerintah untuk membangunkesejahteraan semua warga masyarakat. Jika koperasi dinyatakan sebagaikelembagaan alternatif, mungkin perlu diperhatikan bahwa koperasi memilikibanyak keunggulan dalam mendukung pemberdayaan kelompok-kelompokmiskin. Kelemahan dari koperasi adalah karena faktor internalnyasendiri yang membatasi partisipasi anggota, karena koperasi menghendakihomogenitas anggota terutama dari aspek kepentingannya terhadap koperasi(Syarif dan Nasution 1989). Dari adanya berbagai kekuatan koperasi dan denganmengeliminir kelemahan yang ada maka koperasi idealnya dapat menjadi faktorpenting dalam mendukung perekonomian nasional, yang dibangun oleh sebagianbesar rakyat yang tergolong dalam kelompok UMKM. Yang perlu mendapatperhatian adalah bagaimana memposisikan koperasi dalam system perekonomian nasional. Sedangkan diketahui sekarang ini sangat banyak kendala yangmenghambat pengembangan koperasi, terutama dari aspek kebijakan makro yangdipengaruhi semangat globalisasi. Selanjutnya kajian mungkin harus diarahkan pada faktor yangmempengaruhi keberhasilan koperasi terutama yang terkait dengan hubungankoperasi dan anggotanya sebagai modal utama koperasi antara lain ; Faktorperekat. Dalam suatu koperasi faktor perekat yang sangat mendasar adalahkesamaan (homogenitas) kepentingan ekonomi dari para anggotanya. Signifikansifaktor ini tergambar jelas diperhatikan adanya fenomena bahwa seorang anggotayang telah berhasil dalam usahanya cenderung akan meninggalkan koperasiwalaupun sebelumnya keberhasilan orang tersebut didukung sepenuhnya olehkoperasi. Orang tersebut malah merasa tidak memerlukan koperasi lagi.Peningkatan kemampuan menyebabkan orang berubah kepentingannya makaorang tersebut dapat pindah ke koperasi lain, yang dapat memenuhi4kepentingannya. Dengan kata lain faktor homogenitas kepentingan anggotamerupakan kata kunci dalam membangun koperasi.Anggaran Dasar (AD) koperasi merupakan cerminan dari kepentingananggota. Tetapi sekarang AD diseragamkan (oleh instansi pemerintah), yangberarti menyeragamkan kepentingan anggota. Hal ini dimaksudkan agar AD yangdisusun sesuai dengan peraturan. Tetapi perlu diingat bahwa perlakuan tersebutmerupakan kesalahan, oleh sebab itu harus diperbaiki. Disini pihak yangberwenang boleh saja menjadi konsultan dalam penyusunan AD, tetapi sebagaikonsultan yang harus mampu melihat kepentingan anggota dari suatu koperasi yang akan dibentuk.Tidak ada penugasan khusus kepada instansi pemerintah sebagai pembinauntuk menjadikan koperasi sebagai sebuah sistem. Kenyataan juga koperasisering dipilih tetapi kerap kali menjadi pilihan yang tidak tepat. Pada akhirnyakoperasi selalu di identikan sebagai badan usaha yang marginal. Perkembangankoperasi mengalami pasang surut sesuai dengan intensitas pembinaan yangdipengaruhi oleh banyak aspek. Pada akhirnya timbul pertanyaan mengapasampai sekarang peran dan kiprah koperasi di Indonesia sulit dikembangkan.
  • Asas dan Prinsip koperasi
Pembangunan atau pemberdayaan koperasi idealnya harus dimulaidengan memperhatikan asas dan prinsip-prinsip koperasi. Asas gotongroyong dan kekeluargaan yang dianut oleh koperasi sudah secara tegasdinyatakan dalam amanat konstitusi. Sedangkan prinsip-prinsip dasarkoperasi sebagian besar sudah sesuai dengan kondisi sosial ekonomimasyarakat di Indonesia sekarang ini (yang diwarnai dengan ketimpangandan banyaknya jumlah orang miskin dan pengangguran).
  • Nilai- Nilai koperasi
Nilai-nilai dalam koperasi merupakan salah satu aspek penting yangmembedakan koperasi dengan badan usaha ekonomi lainnya, karenadalam nilai-nilai koperasi terkandung unsur moral dan etika yang tidaksemua dimiliki oleh badan usaha ekonomi lainnya, Dalam hal ini IbnuSoedjono berpendapat bahwa, koperasi-Koperasi berdasarkan nilainilai menolong diri sendiri, tanggung jawab sendiri, demokrasi,persaingan, keadilan dan kesetiakawanan. Mengikuti tradisi parapendirinya, anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis, darikejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial serta kepedulianterhadap orang lain. Prinsip menolong diri sendiri (sel-help) percaya pada diri sendiri(self-reliance) dan kebersamaam (cooperation) Dalam lembagakoperasi akan dapat melahirkan efek sinergis. Efek ini akan menjadisuatu kekuatan yang sangat ampuh bagi koperasi untuk mampubersaing dengan lembaga ekonomi lainnya, apabila para anggotakoperasi mengoptimalkan partisipasinya, baik partisipasi sebagaipemilik maupun partisipasi sebagai pemakai.
koperasi adalahkelompok orang yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama yaitu meningkatkan kemampuan ekonomi secaraberkelompok dengan harapan akan memperbesar skala ekonomimereka yang berdampak akhir pada meningkatnya efisien darikegiatan (jual-beli) yang dilakukannya bersama-sama.
Dari prinsip dan tujuan koperasi, selama ini baru sangatsedikit yang dapat diakomendir oleh gerakan koperasi, bahkansebaliknya ada unsur-unsur yang sama sekali belum dapat dilaksanakanseperti menolong diri sendiri dan efisiensi biaya. Kondisi yang demikiansering dikaitkan dengan kondisi ekonomi anggota koperasi yang ratarata terbilang miskin (dibawah pendapatan rata-rata nasional) dan arahpembinaan pemerintah yang lebih pada pembangunan usahaketimbangan pengkaderan koperasi.Buruknya kinerja koperasi ternyata diperparah oleh kurangbaiknya kinerja pembina. Kondisi seperti ini sebenarnya sudah diketahuisejak era orde baru, yang diduga terkait erat dengan pendekatan, strategidan pola pembinaan serta kualitas SDM pembina. Dalam hal iniNasution 1990 dalam desertasinya mengatakan bahwa kunjunganpembina membawa dampak negatif bagi kenerja koperasi (KUD), yangdiindikasikan dari semakin banyak kunjungan pembina ke suatu KUD maka akan semakin cepat KUD tersebut mengalami penurunankinerjanya. Perbaikan konsepsi pembinaan ternyata sampai sekarang inibelum banyak mendapat perhatian dari pemerintah dan hal ini didugaterkait dengan komitmen politik untuk memberdayakan koperasi yangcukup kuat, sehingga pembenahan permasalahan tersebut belummendapat respon yang significant dari Pemerintah.
Permasalahan diatas nampaknya juga terkait dengan masalahmasalah internal koperasi yang belum terselesaikan antara laian;
  • proses penyempurnaan RUU Perkoperasian yang sudah tersendat hampir4 tahun
  • Pergantian Pengurus Dewan koperasi Indonesia (DEKOPIN) yang berakhir kisruh sehingga gerakan koperasi pecah menjadi beberapa kelompok
  • koperasi tidak diberikan peran dalam agenda Dan PrioritasPembangunan Nasional dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengantahun 2009 (dalam pidato Kenegaraan Presiden SBY tanggal 16 Agustus 2006 tidak menyebutkan koperasi); d) dalam dunia pendidikan mataajaran perkoperasian menjadi pelajaran pilihan dan sampai sekarangbelum ada standar baku untuk mata ajaran tersebut dan; e) Promosi,penyuluhan dan sosialisasi koperasi di media masa selama era reformasihampir tidak pernah ada lagi.
    • Solusi Pemberdayaan Koperasi
  1. Solusi yang diperlukan untuk memberdayakan koperasi sekarang iniadalah adanya komitmen yang kuat dan sekaligus upaya nyata dari pihak pihakterkait khususnya pemerintah, gerakan koperasi dan lembaga koperasi untukmelakukan pembenahan dalam rangka pemurnian dan revitalisasi kegiatan usahaserta penguatan pembiayaan koperasi. Alternatif pemurnian kelembagaankoperasi dapat dilakukan dengan; memperbaiki dan melengkapi aturanperundang-undangan (mempercepat proses penyusunan dan pengesahan RUU perkoperasian.
  2. Melakukan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan kepadaanggota pengurus dan Pembina koperasi dengan materi dan metoda yang tepat,agar mereka benar-benar mengetahui dan mengerti koperasi secara utuh(Koperasi yang genuine).
  3. Melakukan sosialisasi/promosi melalui media yang tepat terarah dan terencana serta berkesinambungan; d) Menyusun standar danmetoda yang tepat bagi mata ajaran koperasi untuk mendukung kaderisasikoperasi ditingkat pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi serta.
  4. Menyerahkan sebagian besar tugas dan tanggung jawab pembinaan danpengembangan koperasi kepada gerakan koperasi sendiri.
Dalam membahas peluang koperasi untuk menjadi lembaga alternatifpemberdayaan UKMK juga perlu dikaji hubungan antara koperasi dengananggotanya yang UKM. Dalam hal ini salah satu aspek yang menarik untukdiperhatikan adalah “faktor perekat dalam koperasi (antara koperasi dengananngotanya dan antar anggota di dalam koperasi) adalah, kesamaan(homogenitas) kepentingan ekonomi. Lebih lanjut juga perlu difikirkan bagaimana jika keberhasilan koperasi telah mampu meningkatkan perekonomianseseorang, sehingga orang tersebut malah merasa tidak memerlukan koperasi lagi.
Dalam hal ini perlu disadari bahwa peningkatan kemampuan ekonomi seseorangdapat menyebabkan orang berubah kepentingannya. Sehingga mungkin sajaorang tersebut dapat pindah ke koperasi lain, yang dapat memenuhikepentingannya. Dengan kata lain faktor homogenitas kepentingan anggotamerupakan kata kunci dalam membangun faktor perekat dalam koperasi.Tidak ada penugasan khusus kepada instansi pemerintah sebagai Pembinauntuk menjadikan koperasi sebagai sebuah system, merupakan salah satupenyebab dari kesulitan membangun sistem koordinasi antar pembinaan. MenurutMutis (1999), untuk memberdayakan wirausaha dengan skala usaha kecil, menengah, dan koperasi ataupun kalangan usaha di sektor informal adalah salah satu bentuk menterjemahkan visi kerakyatan dalam fraxis bisnis kekinian.
Dengan demikian apa yang tampak dalam kehidupan ekonomi para petani adalah hubungan kekerabatan itu sangat erat dan berpengaruh besar, sebab mereka hidup di lokasi yang sama serta mendorong para petani bekerja sama untuk mempertahankan kehidupan.Berbagai bentuk organisasi ekonomi dan sosial yang ada di pedesaan umumnya dimiliki ciri yang pluratistik. Dengan pengertian luas, yang dikatakan oleh Gunardi (1981) sebagai kolektivisme desa mau kolektivisme asli. Ciri utama kolektivesme tersebut adalah semangat gotong-royong, tolong-menolong, musyawarah untuk mufakat, dan toleransi yang tinggi dalam pola paguyuban yang kuat.
Berbagai bentuk organisasi sosial dan ekonomi yang ada dan berkembang di pedesaan seperti Subak, Mapalus, Lumbung Pitih Nagari pada dasarnya merupakan wujud dari Koperasi Sosial. Bila lembaga semacam ini dibina maka akan menjadi landasan yang kokoh untuk membangun koperasi Modern yang mandiri, berdaya guna, dan berhasil guna bagi pembangunan ekonomi masyarakat desa dan pedesaan. Bila dibandingkan antara Koperasi Sosial yang telah berkembang sejak berabad-abad yang lalu di perdesaan dalam berbagai bentuk organisasi sosial ekonomi yang diuraikan di atas terlihat hanya sedikit perbedaan yang tidak mendasar, seperti diperlihatkan pada Tabel 1 di bawah ini. Perlakuan terhadap semua anggota adil berdasarkan partisipasinya dalam kegiatan koperasi. Suara berdasarkan besarnya partisipasi dalam kegiatan koperasi dapat beramalgamasi membentuk koperasiKoperasi yang lebih besar. Pelayanan agresif Keputusan berdasarkan mayoritas dan kebijaksanaan didelegasikan penuh kepada pengurus Kebijaksanaan bersifat terpusat Diorganisir sesuai kebutuhan pemasaran suatu konfigurasi sistem yang saling terkait. Kebijaksanaan personalia dalam seleksi dan penerimaan berdasarkan yang terbaik. Mutu dan cara kerja karyawan terikat pada perubahan yang terjadi .Tindakan pengurus berdasarkan kepentingan jangka panjang yang terbaik tanpa memperhatikan pemilihan kembali pengurus atau keuntungan jangka panjang. Pengelolaan dan kepengurusan berdasarkan keputusan sehari-hari didelegasikan pada karyawan. Masalah manajemen personil cukup besar Proritas pada pelayanan, sedangkan keuntungan merupakan tujuan sekundern Sebagian anggota yang aktif dalam kegiatan koperasi memperoleh dampak yang tidak proporsional dalam keputusan usaha Tekanan manajemen terbatas pada issue dan masalah internal organisasi Manejer dan pengurus lebih mencurahkan perhatian pada masalah-masalah strategis dan perencanaan. Perhatian terhadap masalah pemahaman pasar dan resiko bunga kurang mendapat perhatian Keuntungan menjadi prioritas utama dengan pelayanan sebaik mungkin selama dapat diperoleh keuntungan yang memadai.
PENUTUP
Realitamemperlihatkan bahwa perkembangan koperasi semakin redup, antara laindisebabkan perubahan kebijaksanaan pemerintah sebagai tuntutan dari eraglobalisasi. Kebijakan moneter semakin memperlemah koperasi/UKM untukmengakses sumber permodalan. Bank bukan lagi menjadi agen developmentPemilikan BUMN oleh perusahaan asing bukan lagi hal yang aneh. Subsidi kredit untuk UKM dan koperasi semakin dikurangi.14Jika koperasi hanya dijadikan sebagai sebuah alternative kelembagaandalam mendukung pemberdayaan UMKM, sedangkan diketahui bahwa koperasimemiliki banyakkeunggulan dalam mendukung pemberdayaan ekonomikelompok-kelompok miskin,maka perlu dipikirkan adanya opsi lain. Namundemikian dalam pemilihan opsi seharusnya koperasi dinyatakan sebagai suatusistem kelembagaan yang dengan kriteria-kriteria tertentu dapat menjadi sokoguru perekonomian nasional, yang dibangun oleh sebagian besar rakyat yangtergolong dalam kelompok UKM. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalahbagaimana memposisikan koperasi dalam Sistem Perekonomian Nasionaltersebut, sedangkan diketahui sekarang ini sagat banyak kendala yangmenghambat pengembangan koperasi, terutama dari aspek kebijakan makro yangdipengaruhi semangat globalisasi. Pertanyaan akhir yang perlu dijawab adalah“Bentuk koperasi yang bagaimana yang seharusnya dibagun di Indonesia ?”Apakah Koperasi Single Purpose atau Koperasi Multy Purpose ? Kedua jeniskoperasi ini nampaknya cocok, untuk UKM, tetapi harus disesuaikan denganbidang usaha, kondisi ekonomi dan sosial dari anggota yang UKM denganberagam jenis kegiatan usaha terutama yang bersifat spesifik daerah.
DAFTAR PUSTAKA

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 12


Nama Anggota Kelompok          :
1. PASKALINA NOTANUBUN (25210323)(notanubun_paskalina)
2. MUHAMMAD IHSAN (24210725) (icank)
3.  ADINDA PUTRA PANGESTU (20210165) (adinda)
4. RIYANI KUSUMAWATI ( 26210084) (moshi2_hallo)
5. TIRSA VIRGINA NUR HADIST (26210908) (tirsa)
6. ZALDI MASRURI (28210827) (zaldimasruri)
Kelas    : 2EB10
DAMPAK KEBERADAAN PASAR MODERN TERHADAP USAHA RITEL KOPERASI/WASERDA DAN PASAR TRADISIONAL
 ABSTRAK
Tujuan dari pengamatan ini adalah (1) untuk mengidentifikasi posisi pasar tradisional dan pasar modern dari aspek kelembagaan dan peraturan yang ada, (2) untuk mengetahui dampak keberadaan pasar modern untuk bisnis ritel yang dikelola oleh koperasi, pasar tradisional dan kecil dan perusahaan menengah dan (3) untuk menyusun konsep tentang pemberdayaan usaha ritel diterapkan oleh koperasi,  pasar tradisional dan usaha kecil dan menengah.   Masalah utama penelitian ini adalah (1) posisi pasar tradisional dan pasar modern dilihat dari aspek institusional dan peraturan yang ada, (2) dampak keberadaan pasar modern untuk bisnis ritel yang dikelola oleh koperasi, pasar tradisional dan kecil dan menengah dilihat dalam aspek volume usaha, harga jual, nomor pekerja dan faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam menentukan untuk belanja dan (3) konsep untukmemberdayakan bisnis ritel diterapkan oleh koperasi, pasar tradisional dan kecil dan menengah dampak perusahaan terhadap volume bisnis tradisional pasar.  Antara sebelum dan sesudah keberadaan modern sangat berbeda, di mana volume bisnis pasar tradisional lebih tinggi sebelum adanya pasar modern, sedangkan variabel harga jual dan jumlah pekerja hanya sedikit perbedaan.  Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) keberadaan pasar modern telah shreatened pasar tradisional di mana, telah dikembangkan oleh 31,4%  (AC Nielson) dan telah mengembangkan negatif sebesar 8%,  (2) volume bisnis pasar tradisional karena adanya pasar modern menurun. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah pekerja dan harga jual komoditas dan (3) keputusan untuk berbelanja di pasar modern sangat dipengaruhi oleh faktor: kenyamanan, sanitasi, ketersediaan fasilitas lainnya, dan keputusan konsumen untuk berbelanja di pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh jarak dan kebiasaan belanja.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang begitu pesat mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat pula.Kebtuhan akan ekonomi dari masyarakat seiring sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, Kebutuhan akan pasar yang merupakan akses untuk memenuhi kebutuhan hidup dimana  traksaksi kebutuhan antar pedagang dan konsumen berkembang dengan pesatnya, hal ini jika kita tinjau di berbagai daerah mu ncullah bentuk bentuk pasar kecil  mini market (Ritail)  .  Semakin  maju perkembangan zaman dari bentuk pasar  trasdisional  meningkat pasar yang lebih modern dan sekarang  banyak kita temukan pasar pasar kecil lebih proposional   seperti Toserba, Mini Markit , alfa mart bahkan sekarang bermunculan suwalayan –sualayan yang semakin modrn dengan pengembanagn menejemen  yang lebih mapan . Dengan  munculnya pasar modern ini pasar tradisional akan mengalami penyusutan pelanggan  dan pendapatannya., Jika tidak diimbangani dengan pelayanan dan menejemen  yang lebih baik boleh jadi pasar tradisional akan lama lama bisa mengalami kematian. Dengan kesibukan masyarakat dalam berbagai kegiatannya  maka akan memenuhi kebutuhan diluar jam kerja  untuk soping belanja , dan kebanyakan ia meluangkan waktunya pada malam hari , sedangkan pasar tradisional tidak akan mampu melayani karena mereka memanfaatkan waktunya hanya siang hari.    ;
Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :
DAMPAK KEBERADAAN PASAR MODERN TERHADAP USAHA RITEL KOPERASI/WASERDA                 Veronica   DAN PASAR         TRADISIONAL
Agus Susilo, Taufik
1.  Mengidentifikasi posisi pasar tradisional dan pasar modern (supermarket dan hypermarket) dari aspek kelembagaan dan peraturan perundangundangan yang berlaku;
2. Mengetahui dampak kehadiran pasar modern (supermarket dan hypermarket) terhadap usaha ritel yang dikelola oleh koperasi/waserda, pasar tradisional, dan PKM;
3. Menyusun suatu konsep pemberdayaan usaha perdagangan ritel yang dapat diterapkan koperasi/waserda, pasar tradisional, dan PKM.
b. Manfaat
Penelitian ini bermanfaat untuk :
(1) Mengetahui kondisi atau potret pasar modern, waserda koperasi dan pasar tradisonal.
(2) Mengevaluasi dan mendistribusikan dampak keberadaan pasar modern.
(3) Menyusun konsep pengembangan waserda koperasi dalam mengelola usaha ritel, dikaitkan dengan keberadaan pasar modern dan pasar tradisional.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR 
  • Landasan Teori
Pengertian Pasar Tradisional dan Pasar Modern Selanjutnya Sinaga (2006) mengatakan bahwa pasar modern adalah pasar yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat di kawasan perkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen (umumnya anggota masyarakat kelas menengah ke atas). Pasar modern antara lain mall, supermarket, departement store,  shopping centre, waralaba, toko mini swalayan, pasar serba ada, toko serba ada dan sebagainya. Barang yang dijual disini memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barang-barang lokal, pasar modern juga  menyediakan barang impor. Barang yang dijual mempunyai kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian terlebih dahulu secara ketat sehingga barang yang rijek/tidak memenuhi persyaratan klasifikasi akan ditolak. Secara kuantitas, pasar modern umumnya mempunyai persediaan barang di gudang yang terukur. Dari segi harga, pasar modern memiliki label harga  yang pasti (tercantum harga sebelum dan setelah dikenakan pajak). Pasar modern juga memberikan pelayanan yang baik dengan adanya pendingin udara yang Metode Kerja Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan dengan menggunakan metode dan pendekatan pengamatan lapangan di pasar pasar tradisinanol dengan pengamatan . minimarket , alfa mart dan suwalayan suwalayan  yang ada di daerah kudus. Wilayah Penelitian Pelaksanaan kegiatan penelitian ini mengambil sampel di Kabupaten kudus. subjek  kajian terdiri dari : (1) Pasar tradisional, (2) Koperasi/waserda, (3) UKM sektor ritel, (4) Pasar modern dan (5) Instansi terkait (sumber data pelengkap).
Penggalian  Data
NO
WILAYAH KAJIAN
OBJEK KAJIAN
PT
KOPUKM
PM
IT
1
 Pasar Piji Daw
P
P
P
P
P
2
 Pasar Bitingan Kudu
P
P
P
P
P
3
 TOSERBA Jember
P
P
P
P
P
4
 Alfa Maret
P
P
P
P
P
5
 Indo Maret Daw
P
P
P
P
P
6
 Ada Kudu
P
P
P
P
P
7
 Koperasi Daw
P
P
P
P
P
Keterangan :
PT : Pasar Tradicional  Kop : Koperasi (Waserda)  UKM : Usaha Kecil dan Menengah sektor riel PM : Pasar Modern  IT : Instansi Terkait
DAMPAK KEBERADAAN PASAR MODERN TERHADAP USAHA RITEL KOPERASI/WASERDA   DAN PASAR         TRADISIONAL
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sekaligus untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagaimana dirumuskan dalam identifikasi masalah, ditempuh dengan menggunakan beberapa metode analisis. Metode dan teknik analisis data ádalah sebagai berikut :
  1. Identifikasi masalah I dan identifikasi masalah III dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif, ialah analisis yang dilakukan  dengan mengeksplorasi data secara deskriptif. Dalam metode ini, eksplorasi data lebih banyak menggunakan pendekatan kualitatif.
  2.  Identifikasi masalah II dianalisis dengan menggunakan metode statistika dengan bantuan software SPSS versi 11.5
  • Untuk menjawab sub masalah ke-1 , teknik statistika yang digunakan adalah univariate analysis, yaitu Mann Whitney U dan t-test. Untuk menggunakan teknik ini terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan metode one-sample KolmogorovSmirnov
  • Untuk menjawab sub identifikasi masalah ke-2 dilakukan dengan menggunakan analisis regresi logistik (logit regression). Alasan pemilihan metode ini mengingat variabel independent (Y) memiliki karakteristik biner, yaitu keputusan untuk memilih berbelanja di pasar tradisional (YA) atau di pasar modern (YB). Persamaan umum model Regresi Logistik adalah :
Dari sisi kelembagaan, perbedaan karakteristik pengelolaan pasar modern dan pasar tradisional nampak dari lembaga pengelolanya. Pada  pasar tradisional, kelembagaan pengelola umumnya ditangani oleh Dinas Pasar yang merupakan bagian dari sistem birokrasi. Sementara pasar modern, umumnya dikelola oleh profesional dengan pendekatan bisnis. Selain itu, sistem pengelolaan pasar tradisional umumnya terdesentralisasi dimana setiap pedagang mengatur sistem bisnisnya masing-masing. Sedangkan pada pasar modern, sistem pengelolaan lebih terpusat yang memungkinkan pengelola induk dapat mengatur standar pengelolaan bisnisnya. Dari aspek kebijakan, dapat dijelaskan bahwa pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang penataan perpasaran. Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Kebijakan Pengaturan Substansi Pokok
1. SKB Menperindag dengan Mendagri Nomor 57/1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan >Menperindag mengatur, membina, mengembangkan usaha perdagangan di pasar dan pertokoan dan pedagang kecil dan menengah >  Mendagri melakukanpembinaan Pemerintah Daerah dalam penataan dan pembangunan pasar/pertokoan >  Pemda menetapkan lokasi dan ijin pembangunan pasar/pertokoan
DAMPAK KEBERADAAN PASAR MODERN TERHADAP USAHA RITEL KOPERASI/WASERDA   DAN PASAR         TRADISIONAL
Jenis dan Substansi Pokok Kebijakan Pembinaan dan Penataan Perpasaran Mencermati substansi pokok kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan (tenaga Kerja). Hasil uji normalitas data (omzet penjualan, harga jual barang, dan jumlah tenaga kerja) disajikan bawah ini
1 Omzet penjualan (X1)0.112 100 Non Sig
2 Harga jual barang 0.121 100 0.146 Non Sig
3 Jumlah tenaga kerja  (X3)0.289 100 0.000 Sig
Hasil Uji Normalitas Data
Sumber: Diolah dari output SPSS hasil pengolahan data penelitian, 2005 Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa data omzet penjualan dan harga jual produk berdistribusi normal. Kedua data ini selanjutnya diuji perbedaan rataratanya dengan menggunakan uji t. Sedangkan data jumlah tenaga kerja menunjukkan tidak berdistribusi normal, sehingga diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney U
1 Harga jual barang T test 0.54 0.593 Non
2  Jumlah tenaga kerja (X3)Mann Whitney U1 35.00.079 Non Sig
Hasil Uji Beda
Sumber : Diolah dari output SPSS hasil pengolahan data penelitian 2005 Dari hasil uji beda di atas dapat diketahui bahwa hanya omzet penjualan (pasar tradisional) yang terbukti berbeda secara signifikan (memiliki perbedaan rata-rata) antara sebelum dengan sesudah adanya pasar modern. Sedangkan dua aspek lainnya yaitu harga jual barang dan jumlah tenaga kerja tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Untuk mengetahui perbandingan rata-rata ketiga indikator penelitian dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
  1. SKB Mendagri, Menkop dan PPK Nomor : 01/SKB/M/97 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi dan PK dalam Pengembangan Pasar dan Pertokoan >Penciptaan iklim kondusif pengadaan, pembangunan, pengelolaan penataan pasar dan pertokoan yang layak bagi koperasi dan PK termasuk sektor informal >Peningkatan kemampuan koperasi dan PK dalam pengembangan pasar/toko >  Kemitraan koperasi dan PK dengan Bank, pemda, BUMN, swasta, lainnya 1 Omzet penjualan (X1)4.51 09 > 1.1746 Sig 2 Harga jual barang 3.4682 > 3.0675 Non
  2. Jumlah tenaga kerja (X3)3.0168 > 2.9807 Non  Sig
Perbandingan Rata-Rata Omzet Penjualan, Harga Jual Barang, dan Jumlah Tenaga Kerja Pasar Tradisional Sebelum dan Sesudah Adanya Pasar Modern Sumber : Diolah dari output SPSS hasil pengolahan data penelitian, 2005 . Dari data di atas dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya terdapat perbedaan tanggung jawab kepada Bupati/Walikota atau Gubernur khusus untuk Pemerintah Propinsi DKI Jakarta;
a. Kewenangan penerbitan IUPM dan/atau IUTM berada pada Menteri. Namun demikian, kewenangan Menteri dapat diserahkan atau dilimpahkan baik kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk Pemerintah Propinsi DKI Jakarta;
b. Pasar modern/toko modern dapat melakukan kegiatan usaha setelah memiliki IUPM dan/atau IUTM; c. Toko modern yang berada di dalam pasar modern tidak diwajibkan memiliki IP2TM tetapi wajib memiliki IUTM.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis sebagaimana diuraikan di atas, pengamatan ini menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
  1. Beberapa kebijakan Pemerintah telah dikeluarkan untuk menata pengelolaan perpasaran, baik pasar modern maupun pasar tradisional. Implementasi kebijakan ini menuntut komitmen Lebih besar agar dapat dilaksanakan secara konsisten;
  2. Secara makro, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran pasar modern telah mengancam eksistensi pasar tradisional. Fakta ini antara lain diungkap dalam penelitian AC Nielson yang menyatakan bahwa pasar modern telah tumbuh sebesar 31 ,4%. Bersamaan dengan itu, pasar tradisional telah tumbuh secara negatif  sebesar 8%. Berdasarkan kenyataan ini maka pasar tradisional akan habis dalam kurun waktu sekitar 12 tahun yang akan datang, Sehingga perlu adanya langkah preventif untuk menjaga kelangsungan pasar tradisional termasuk kelangsungan usaha perdagangan (ritel) yang dikelola oleh koperasi dan UKM
  3. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa dampak keberadaan pasar modern terhadappasar   tradisional adalah dalam hal penurunan omzet penjualan. Dengan menggunakan uji beda pada taraf signifikansi a = 0,05, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang diteliti, variabel omzet penjualan pasar tradisional menunjukkan perbedaan yang signifikan antara Sebelum dan sesudah hadirnya pasar modern dimana omzet seelah ada pasar modern lebih rendah dibandingkan sebelum hadirnya pasar modern.  Sedangkan variabel lainnya, yaitu Jumlah tenaga kerja dan harga jual barang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
  4. Berdasarkan hasil analisis terhadap perilaku konsumen, diperoleh hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Nielson, C. 2003. Modern Supermarket (Terjemahan AW Mulyana). Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia.
Sinaga, Pariaman. 2004. Makalah Pasar Modern VS Pasar Tradisional. Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta : Tidak Diterbitkan.