Judul:
MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN
TINGGI
NAMA ANGGOTA KELOMPOK
1. Muhammad ihsan
(24210725)
2. Adinda putra
pangestu (20210165)
3. Tirsa vurgina nur
hadist(26210908)
4. Zaldi
masruri(28210827)
5. Paskalina
notanubun(25210323)
6. Riyani
kusumawati(26210084)
ABSTRAK
Ekonomi
Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang
becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu
dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kosudgama adalah
organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk
mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya
Perseroan Terbatas.karena koperasi dapat membangkitkan perekonomia rakyat dan
negara.
BAB
I PENDAHULUAN
Jika
banyak orang berpendapat Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai
populer bersama reformasi 1998-1999 sehingga masuk dalam “GBHN Reformasi”, hal
itu bisa dimengerti karena memang kata ekonomi kerakyatan ini sangat jarang
dijadikan wacana sebelumnya. Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa
ekonomi kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi
kapitalis liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang
kemudian terjadi adalah “reaksi kembali” khususnya dari pakar-pakar ekonomi
arus utama yang menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde
Baru”. Strategi dan kebijakan ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian
Indonesia dari peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah
melalui pertuumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang
salah adalah praktek pelaksanaannya bukan teorinya”.
Barangkali
cara lain menerangkan “sejarah” konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan
langsung menunjukkan adanya kata kerakyatan dalam Pancasila (sila ke 4) yang
harus ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di
antara 5 sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam
praktek ekonomi selama era pembangunan ekonomi Orde Baru.
BAB II PEMBAHASAN
2.1
KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan
Koperasi
Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal
31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14,
yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah
wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon
untuk umum. Salah satu kemajuan Kosudgama yang patut disebut adalah bahwa keanggotaannya
kini menarik orang-orang di luar UGM sendiri, yaitu pegawai UGM bukan dosen,
dan dosen-dosen di luar UGM seperti UPN Veteran, UII, dan sebagainya.
Melonjaknya
jumlah anggota luar biasa dari hanya 13% tahun 1998 menjadi 68% tahun 2001,
atau naik 2200%, memang manakjubkan dan tentu bisa ditanyakan apa faktor
penyebabnya. Sebabnya bukan karena mereka semata-mata tertarik SHU atau dividen
yang baik karena SHU atau dividen mereka itulah yang justru berhasil
mengembangkannya.
Faktor
utama mengapa anggota berduyun-duyun masuk adalah karena mereka
dengan menjadi anggota merasa kepentingannya terlayani dengan baik, lebih baik
dibanding koperasi atau organisasi ekonomi lain selain Kosudgama. Kosudgama
adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk
mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya
Perseroan Terbatas.
Hal
lain yang menarik dari Kosudgama adalah kemajuan pesat usaha-usahanya yang
terjadi justru setelah krismon 1997, ketika banyak perusahaan khususnya
bank-bank swasta berguguran yang mengakibatkan PHK bagi banyak sarjana-sarjana
pegawai bank. Kosudgama sebaliknya selama 1998-2001 mencatat peningkatan nilai
pinjaman kepada anggota sebagai berikut:
Pelonjakan
nilai pinjaman kepada anggota termasuk anggota luar biasa yang meningkat 7 kali
(705%) selama 4 tahun adalah luar biasa, dan perkembangan ini ditambah
usaha-usaha lain menghasilkan SHU yang juga melonjak dari hanya Rp 131 juta
tahun 1998 menjadi Rp 3,04 milyar tahun 2001. Nilai aset total Kosudgama dengan
demikian mengalami peningkatan dari Rp 1,97 milyar tahun 1998 menjadi Rp 22,03
milyar tahun 2001.
Pelajaran
apa yang dapat ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama? Pertama, kesungguhan kerja pengurus
dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu
bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja
koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi
anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi
organisasi. Kedua,
Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk
terutama untuk menghimpun modal. Ketika Kosudgama berdiri tahun 1982
tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah bagi
dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook)
yang relatif mahal dari luar negeri. Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan
Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari
usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang
kemudian dibantu untuk memenuhinya.
Prinsip
kedua ini terus dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha
baru hanya karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS
yang bisa untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang
dibuka harus merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota,
membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan
umum, dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Demikian
kiranya jelas bahwa Perguruan-perguruan Tinggi lain dapat dengan mudah “meniru”
Kosudgama mendirikan koperasi di kampus masing-masing untuk membangkitkan
(sistem) ekonomi kerakyatan. Syarat untuk berhasil tidak sulit dipenuhi jika
koperasi benar-benar didasarkan pada kebutuhan yang mendesak dari masyarakat
kampus, apakah ia dosen, mahasiswa, atau karyawan. Modal yang dibutuhkan untuk
membiayai usaha memang tidak boleh sepenuhnya digantungkan atau berasal dari
pihak luar koperasi, tetapi harus berasal dari anggota sendiri, meskipun bisa
diangsur sedikit demi sedikit sesuai kemampuan anggota.
2.2 Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat
Kiranya
jelas dari uraian pengalaman KOSUDGAMA yang digambarkan di atas, bahwa yang
dimaksud ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah
kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak
akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari
anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah
usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi
dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan
keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan
kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak
dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
Ekonomi
Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang
becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu
dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi.
Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat seperti inilah yang tidak dilihat oleh
pakar-pakar ekonomi yang memperoleh pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks
dari Amerika dan yang tidak berusaha menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di
Indonesia. Teori-teori ekonomi mikro maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa
upaya menggali data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena
contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran relatif
besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak ada dan tidak
ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya Menteri Pertanian yang memperoleh
gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan yakin menyatakan
bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang dimaksud
adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di Indonesia harus
dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi “way of life”,
kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar
untung.
Jika
banyak orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat
Indonesia “tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya
jelas karena mereka (orang awam maupun ilmuwan) tidak membaca buku-buku sejarah
ekonomi Indonesia. Maka kita patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The
Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed
Opportunity (Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick
dkk., The Emergence of A National Economy (Allen & Unwin
& U-Hawaii, 2002). Kedua buku ditulis dalam rangka lebih memahami ekonomi
Indonesia modern sejak Indonesia Merdeka 1945. Karena tidak ada buku-buku
sejarah ekonomi Indonesia, pakar-pakar ilmu sosial Indonesia termasuk pakar
ekonomi tidak mempunyai referensi dalam menerangkan fenomena-fenomena ekonomi
dan sosial masa kini dan dengan demikian juga tidak dapat memperkirakan
akar-akar sejarah permasalahan sosial ekonomi dewasa ini. Dalam kondisi
demikian banyak diantara mereka menggunakan referensi sejarah ekonomi
negara-negara lain yang dianggap relevan, padahal barangkali mereka sadar
referensi tersebut banyak yang tidak relevan.
Dalam
pada itu buku-buku tentang ekonomi atau perekonomian Indonesia yang ditulis
oleh pakar-pakar ekonomi Belanda seperti Boeke dan Furnival tidak dibaca dengan
alasan yang kurang jelas. Perdebatan seru tentang tesis dualisme ekonomi yang
terbit sebagai buku Indonesian Economics (Van Hoeve, 1966),
belum pernah secara lengkap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk
didiskusikan dalam kuliah-kuliah Ekonomi Indonesia. Mata kuliah Ekonomi
Indonesia ini oleh konsorsium Ilmu Ekonomi di Direktoral Jenderal Pendidikan
Tinggi telah diubah menjadi Perekonomian Indonesia, yang tentu saja sekedar
membicarakan fenomena-fenomena dan bekerjanya perekonomian Indonesia Modern,
terutama sejak tahun 1966 (Masa Orde Baru). Penulis buku ini yang mengampu
kuliah ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir, tetap menyebutnya sebagai
Ekonomi Indonesia, dan mengisinya dengan sejarah perekonomian Indonesia (sejak
masa penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia. Disamping itu dibahas
pula sistem ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran
deskriptif dan analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi
monopolistik ala VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi
komando ala Tanam Paksa (1830 – 1870), dan sistem ekonomi
kapitalis liberal sejak 1870. Salah satu buku penulis yang dipakai sebagai buku
teks Ekonomi Indonesia berjudul Sistem dan Moral Ekonomi
Indonesia (LP3ES, 1988) dan Membangun Sistem Ekonomi(BPFE,
2000).
Buku
Anne Booth, yang banyak mengacu pada buku-buku sejarah ekonomi penulis-penulis
Belanda menggambarkan dengan baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya
pada bab 7, Market and Entrepreneurs. Perkembangan sistem pasar di
Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang
diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa
kolonialisme (1600 – 1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem
monopoli (monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti
rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya
tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC tidak sama dengan
pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai
kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat
“pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie diucapkan
orang Indonesia sebagai kumpeni yang
tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan
komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC
bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan
cara-cara tepat untuk mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti
sementara (1811-1816) karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh
Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke
Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem
sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak
segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia
Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.
Pada
tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat
perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di
Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus
melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi
kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah
penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara
yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual
komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus
menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada
perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Selain
itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa
yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada
kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat
merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam Paksa adalah
sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di
Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan
sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah
jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang
kejam ini setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda
dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus
berlangsung sampai 1915. Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman
penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi
kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi
pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas
melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan. Undang-undang pertama yang
menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan
perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk
jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet,
teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau
dalam bentuk sewa jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini
mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya,
sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan
perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan
inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di
satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan swasta memperoleh untung
besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak
perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain
penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya
sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam
pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan
segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan
kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini,
sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada
saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi
karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris
di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan
karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang
perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar.
Tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di
Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan
oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda,
terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat
dan perkebunan rakyat (smallholder). Pertanian dan perkebunan rakyat
dengan pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal
seadanya, sulit berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya
pertanian dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu
hektar yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi
komoditi ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik
bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar, bahkan
khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil
perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi.
Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan
usaha-usaha besar merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha
asing lain dari Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir,
dan Soekarno, selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan
upaya-upaya untuk memajukannya. Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat
Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan
bagaimana ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi
koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan. Hanya
dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu
produksi dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya
dipimpin dan diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri. Inilah yang kemudian
dijadikan pedoman umum penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha
bersama yang berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD
1945.
Ekonomi
rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki
daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional.
Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika
perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya harga ekspor,
justru perkebunan rakyat menikmatinya.
The
1920s were the “golden age” (hujan emas or “golden rain”) for smallholder
rubber, long remembered among rural residents in Palembang, Jambi, and West and
South Kalimantan. Consumption of both local and imported goods quickly
increased. The number of motor cars in Palembang rose from 300 in 1922 to 1300
in 1924 and more than 19000 bicycles and 17000 sewing-machines were imported
into Palembang and Jambi in 1920s ….. Much romantic nostalgia surrounded the
hujan emas in the rubber regions in the Outer islands (Howard Dick et. al, 2002:138).
Pada
zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang
dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang
ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal
komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan
besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan
dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing
mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No.
9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang
pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik petani.
Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena
tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis dibanding
tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin
menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan
rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan
kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai
pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk
gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka
di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan
produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan
Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat
kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa
termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
Demikian
sejarah ekonomi rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak
banyak pakar mengenalnya karena para pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi,
memang hanya menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor
industri dengan hubungan antara faktor-faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan
modal serta teknologi yang jelas dapat diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan
atau pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka
pakar-pakar ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
2.3 Peranan Ilmu Ekonomi
Ilmu
Ekonomi yang diajarkan dan diterapkan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II
yang dirintis awal oleh bukuEconomics An Introductory Analysis (Paul
Samuelson dari MIT, 1946, sekarang tahun 2001 edisi ke-17) dikenal sebagai
teori ekonomi Neoklasik.
Isi ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan
bebas Klasik(Homo
ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran marginal
utility dan keseimbangan umum Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi
Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi
tertentu,selalu menuju
keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang. Artinya jika
pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang
bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai
kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)
Di
Indonesia, sampai dengan krismon tahun
1997, ilmu ekonomi yang dipahami seperti digambarkan di atas menduduki tempat
terhormat di kalangan ilmu-ilmu sosial. Misalnya insinyur yang belajar dan
mengambil derajat tambahan ilmu ekonomi, dan kemudian bergelar Dr. Ir, diakui
memiliki kemampuan “luar biasa” atau keahlian ekstra karena disamping teknolog
juga masuk “kelompok elit teknokrat ekonomi”.
Satu
alasan kuat lain dari tingginya prestise ilmu ekonomi adalah keberhasilan para
Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, dan teknokrat ekonomi lain, dalam
membangun ekonomi Indonesia selama Orde Baru (1966-1997). Dalam setiap kabinet,
tokoh-tokoh ekonomi terutama dari FE-UI menduduki pos-pos utama ekonomi seperti
Menteri Keuangan, Perdagangan, dan Industri. Dan BAPPENAS yang ditugasi
merancang dan mengendalikan pembangunan nasional selalu diketuai pakar ekonomi,
kecuali sejak tahun 1993 yang pimpinannya dipercayakan pada 2 Insinyur. Bagi
sementara orang, krismon tahun 1997 yang tidak diduga datangnya justru disebabkan
antara lain karena kepemimpinan tim ekonomi pemerintah tidak lagi dipegang
ekonom “profesional”.
Pemikiran
yang ingin kami kembangkan adalah bahwa krismon 1997 dan ketimpangan ekonomi
dan sosial yang serius sejak pertengahan tahun delapan puluhan, terutama
disebabkan oleh strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi, dan kurang memperhatikan asas pemerataan dan keadilan. Dan strategi
yang “keliru” ini diterapkan karena ekonom (teknokrat ekonomi) memperoleh
kepercayaan berlebihan dalam penyusunan strategi pembangunan. Terhadap
kesimpulan terakhir para teknokrat banyak yang keberatan karena menurut mereka
ajaran dan nasihat-nasihat yang mereka berikan tidak pernah salah. Yang salah
adalah pelaksanannya, bukan teorinya, lebih-lebih jika diingat bahwa krismon
terjadi setelah tim ekonomi pemerintah semakin dikuasai oleh non-ekonom,
khususnya diBAPPENAS.
2.4 Menggugat Ajaran Ekonomi Neoklasik
Mempertanyakan
kembali ajaran ilmu ekonomi Neoklasik tidaklah unik di Indonesia. Gunnar Myrdal
(1967) menyatakan sejak amat awal bahwa teori ekonomi tidak dikembangkan untuk
menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang (under
developed regions). Bagi negara-negara yang disebut terakhir, belakangan
disebut negara-negara selatan, harus dikembangkan teori lain oleh para ekonom
muda dari negara-negara sedang berkembang sendiri. J.H.Boeke, ekonom Belanda,
menyatakan hal yang sama jauh sebelumnya dalam disertasinya tahun 1910, dan
diperkuatnya dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ekonomi kolonial tropik tahun
1930 di Universitas Leiden. Pada tahun 1979 dalam pidato pengukuhan Guru Besar
di Universitas Gadjah Mada, kami secara eksplisit menyatakan bahwa teori
ekonomi Neoklasik bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian tetapi tidak
menolong untuk mengadakanpemerataan dan
mewujudkan keadilan.
Selanjutnya mengikuti ajaran Joan Robinson (1962), yang menekankan bahwa ilmu
ekonomi membahas sistem ekonomi, bukan tentang ahli-ahli ekonomi, maka dalam
buku Membangunan Sistem Ekonomi (BPFE,
2000), kami lebih spesifik lagi menunjukkkan bahwa ideologi Pancasila yang
telah diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia harus, mau tidak mau,
dijadikan landasan sistem ekonomi nasional. Maka sistem ekonomi Indonesia
adalah, tidak lain, Sistem Ekonomi Pancasila.
Meskipun
secara politis Pancasila, dan kerakyatan sebagai sila ke-4, sudah diterima dan
dapat dijadikan acuan sistem ekonomi nasional, tokh dalam kenyataan, para
pakar, khususnya pakar ekonomi, merasa sulit atau enggan memasukkannya dalam
“model” pembangunan ekonomi. Lebih-lebih dengan munculnya kembali ajaran
liberalisasi dan globalisasi pertengahan tahun delapan puluhan, yang dijiwai
atau diilhami semangat neoliberalisme, keunikan ideologi Pancasila makin
dipertanyakan, dan dianggap tidak akan mampu menghadapi ideologi global
neoliberalisme. “Daripada susah-susah akan lebih baik kita mengikuti ideologi
global Kapitalisme-Neoliberalisme, yang sejak 1989-1990 memang
telah mengalahkan paham saingannya yaitu Sosialisme.” Demikian sikap menyerah
kalah ini banyak menghinggapi tokoh-tokoh ekonom kita, yang pada awal Orde Baru
(1996) pernah sangat percaya perlunya Indonesia membangun masyarakat sosialisme
Pancasila atau Sosialisme berdasarkan Pancasila (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
Dewasa ini
makin banyak ditemukan buku yang menentang arus globalisasi yang menggunakan
teori ekonomi neoklasik dan diperkuat paham Neo-liberalisme. Perlawanan dan
bahkan pemberontakan terhadap dominasi ajaran/resep-resep IMF dan Bank Dunia
dipimpin ekonom-ekonom yang pernah bekerja di IMF atau Bank Dunia sendiri, yang
paling terkenal adalah Joseph Stiglitz (Ha-Joon Chang, 2001).
The
straight forward view of development as an upward climb, common to all nations
but with different countries at different stages, is misleading and certainly
inadequate for the twenty-first century. (Jonathan M. Harris et al, A Survey of Sustainable
Development, Island Press, 2001) .
Demikian
kini tidak hanya praktek pembangunan yang dipertanyakan, tetapi teori yang
melandasi praktek-praktek pembangunan itu sendiri mulai digugat. Jika tahun
1995 sudah terbit buku Paul Ormerod berjudul The Death of Economics,
kini terbit lagi buku Debunking Economics: The Naked Emperor of the
Social Sciences oleh Steve Keen (Pluto Press, Australia, 2001). Buku ini
menolak total ajaran ekonomi Neoklasik, yang disamping benar-benar tak berguna
juga pengajarannya seperti “indoktrinasi”. Dalam buku lain, Economics
as Religion (Pennsylvania State UP, 2001), Robert Nelson juga menolak
ajaran Neoklasik yang sudah menjadi semacam agama.
Beneath
the surface of their economic theorizing, economist are engaged in an act of
delivering religious messages. Correctly understood these messages are seem to
be promises of the true path to a salvation in world to a new heaven on earth. (RH. Nelson, 2001, h. 20).
Alasan
kuat penerimaan dan penerapan teori ekonomi neoklasik adalah bahwa ia merupakan
satu-satunya teori yang tersedia sehingga “tidak ada alternatif”. Untuk
menjawab keberatan demikian, Debunking Economics secara khusus
menutup bukunya dengan alternatif-alternatif berikut: (Keen, 2001, h.300).
- Austrian
Economics, yang menerima banyak ajaran
ekonomi Neoklasik kecuali konsep keseimbangan.
- Post
Keynesian Economics, yang sangat kritis terhadap
ajaran Neoklasik dan menekankan pada pentingnya ketidakpastian.
- Sraffian
Economics, mendasarkan pada konsep
produksi komoditi oleh komoditi.
- Complexity
Theory, yang menerapkan konsep
dinamika non linear dan teori kekacauan terhadap isu-isu ekonomi.
- Evolutionary
Economics, yang memperlakukan
perekonomian sebagai sistem evolusi ala Darwin.
Dari
ke-5 “alternatif” terhadap teori ekonomi Neoklasik tersebut, teori ekonomi
evolusioner mencakup apa yang dikenal dengan teori ekonomi kelembagaan yang
mula-mula diusulkan Thorstein Veblen (1898), dan kemudian dikembangkan oleh
John R. Commons (1904-1905) di Wisconsin. Ekonomi kelembagaan ala John
Commons menunjukkan betapa teori ekonomi bisa sangat relevan untuk memecahkan
masalah-masalah sosial yang secara nyata dihadapi masyarakat pada waktu dan
tempat tertentu, dan sebaliknya bisa terasa begitu aneh dan mandul pada waktu
dan tempat lain sebagaimana dirasakan 4-5 tahun terakhir di Indonsia.
Menjelang
krismon di Indonesia bulan Juli 1997, 4 tahun setelah Indonesia dipuja-puji
sebagai salah satu “Keajaiban Asia”, karena pertumbuhan ekonomi yang cepat
dengan pembagian pendapatan “sangat merata”, pakar-pakar ekonomi Indonesia
maupun pakar-pakar ekonomi asing di Indonesia “sesumbar” bahwa tidak mungkin
ekonomi Indonesia mengalami krisis keuangan. “Indonesia bukan Thailand”, dan
tahun 2001 dikatakan “ Indonesia bukan Argentina”. Jika keberhasilan
pembangunan ekonomi Indonesia sering dikatakan karena para teknokrat (ekonom)
telah secara cerdas menerapkan terori ekonomi Neoklasik, maka krismon tentunya
tidak mungkin melanda Indonesia yang memilikifundamental ekonomi kuat seperti inflasi rendah, cadangan
devisa kuat, dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sesungguhnya kasus Indonesia
menunjukkan kelemahan teori ekonomi neoklasik yang tidak mampu memberikan peringatan
dini akan ancaman bahaya krismon padahal sejumlah ilmuwan sosial lain khususnya
sosiolog dan anthropolog sudah berulang kali mengingatkannya. Kami sendiri pada
tahun 1981 menulis artikel “keras” yang mengingatkan bahaya “penyakit kanker”
yang sudah menyerang ekonomi Indonesia, tetapi dianggap para ekonom Neoklasik
sebagai dagelan yang tidak lucu atau teori ekonomi yang “ngawur”. Demikian pada
editorial majalah “Business News” (4 Agustus 1984) pandangan
kami tentang “Ekonomi Pancasila” diputar balik dan dianggap “menolak
pertumbuhan”, sehingga “tidak laku di Jakarta”.
2.5 Pengajaran Ilmu Ekonomi
Satu
kesalahan besar yang berubah menjadi semacam dosa dari dosen-dosen pengajar
ekonomi di Universitas-universitas di Indonesia adalah bahwa mereka hanya
mengajarkan separo saja dari ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith
tentang Manusia Sosial (homosocialis, tahun 1759) dilupakan atau tidak
diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai
homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta. Menurut konsep terakhir
manusia bersifat egois dan selfish, yang tidak pernah mau tahu
kepentingan orang lain meskipun yang benar adalah sebaliknya :
Man
it has been said, has a natural love for society, and desires that
the union of mankind should be preserved for its own sake, and though the
himself was to derive no benefit form it. (Adam
Smith, 1759 h. 9).
Dosa
ke-2 dari dosen-dosen ilmu ekonomi adalah mengajarkan secara penuh metode
analisis deduktif dari
teori ekonomi neoklasik, padahal seharusnya disadari bahwa Alfred Marshall dan
Gustave Schmoller sebelumnya, yang merupakan tokoh-tokoh teori ekonomi
Neoklasik, memesankan secara sungguh-sungguh dipakainya dua metode secara
serentak (deduktif dan induktif), laksana 2 kaki (kanan dan kiri) untuk
berjalan. Ajaran asli Mazhab sejarah Jerman inilah yang sesungguhnya dan
seharusnya mengingatkan peristiwa pergulatan metode (metodensreit) pakar-pakar
ekonomi tahun 1873-1874 dalam penggunaan model-model matematika yang kebablasan
dan sekaligus mengabaikan data-data sejarah yang relevan. Mengajarkan ilmu
ekonomi matematika (matematika ekonomi) dianggap lebih gagah dibandingkan
keharusan membaca data-data sejarah dalam buku-buku tebal, meskipun jelas
mempelajari sejarah lebih relevan. Selain itu mengajar ekonomika secara induktif-empirik memang
membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak, dan jika waktu sangat mendesak atau
terbatas, maka mengajar dengan metode deduktif memang merupakan pilihan yang
mudah.
Kita
tentu berterima kasih dan bersyukur ada ilmu sosial yang bernama ilmu ekonomi
yang telah berjasa membantu manusia menyusun resep-resep dan model-model yang
semakin canggih untuk membangun perekonomian modern, dengan akibat standar
kehidupan manusia juga semakin tinggi. Ekonomi Indonesia yang pada tahun-tahun
awal kemerdekaan selama dua dasawarsa (1945-1966) merupakan perekonomian
agraris yang terbelakang, kini sudah jauh lebih maju dan modern dengan standar
hidup manusia rata-rata hampir 10 kali lipat. Pertanyaannya, apakah kemajuan
tersebut merupakan jasa Ilmu Ekonomi? Mungkin lebih tepat pertanyaannya diubah
menjadi sejauh mana ilmu ekonomi telah menyumbang pada kemajuan tersebut. Jika
jawaban atas pertanyaan ini negatif, artinya sumbangan ilmu ekonomi hanya kecil
saja dibanding ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu-ilmu teknik, pertanian, atau
kesehatan, maka tidak ada masalah. Masalah akan timbul jika ilmu ekonomi
dikatakan berperan sangat besar dan menentukan dalam pembangunan
nasional terutama sejak Orde Baru, dengan keterangan lebih lanjut bahwa para
teknokrat ekonomilah yang telah berjasa besar, karena mereka menduduki
posisi-posisi kunci dalam pemerintahan dan lembaga perencanaan ekonomi serta
menjadi penetu-penentu kebijaksanaan pembangunan.
Memang
tidak mungkin kita berteori seandainya pada awal Orde Baru bukan ekonom, tetapi
sosiolog atau anthropolog yang lebih berperanan, apakah hasilnya akan berbeda,
lebih baik atau lebih buruk. Namun jika era Orde Baru kini dianggap telah
berakhir dan kini kita mengadakan reformasi dalam segala bidang termasuk
reformasi ekonomi, tidak sahkah jika kita juga menggugat yang salah dalam
pembangunan ekonomi, dan peranan ilmu ekonomi di dalamnya? Lebih jauh kiranya
kita berhak mempertanyakan jangan-jangan jika ilmu ekonomi jenis lain yang kita
terapkan dan kita ajarkan di Indonesia sejak lahirnya fakultas-fakultas
ekonomi, kondisi masyarakat (ekonomi) kita lebih baik dari sekarang. Ilmu
ekonomi lain sudah ada dan berkembang di dunia termasuk di Amerika Serikat,
hanya saja karena ilmu ekonomi Neoklasik memang memegang monopoli untuk
diajarkan di AS dan negara Eropa Barat lain, maka ilmu ekonomi itulah yang juga
diajarkan dan diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lain.
Salah
satu kelemahan amat menonjol dari Ilmu Ekonomi Neoklasik adalah keengganannya untuk
memasukkan faktor budaya dan masalah keadilan dalam model analisisnya. Bagi
Indonesia yang berideologi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila, maka pembangunan ekonomi dan ilmu ekonomi yang melandasi
penyusunan kebijakan-kebijakan harus mempertimbangkan faktor keadilan ekonomi
dan keadilan sosial. Dan ilmu ekonomi yang diajarkan di Fakultas-fakultas
Ekonomi haruslah ilmu ekonomi kelembagaan ajaran John R. Commons yang
dikembangkan di University of Wisconsin Madison tahun 1904-05.
BAB III PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Satu
tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa
sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda
dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan
memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana
ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir
ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan
masayarakat di daerah. Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak
dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol
berpikir tentang ekonomi. Tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih
cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang
rasional ketimbang sarjana ekonomi.
Kesimpulan
kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita
kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan
lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang
mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat
tindakan seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia
adalah homo-economicus cenderung
mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan kepentingan
orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi mengajarkan
keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik kepentingan
ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi rakyat, para
sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak konglomerat. Dan lebih
gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau melawan konglomerat, dianggap
bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan upah minimum propinsi (UMP) tidak
diragukan bahwa jika tidak mau di sebut “bukan ekonom” anda harus berpihak pada
majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan UMP “pasti berakibat pada
meluasnya penggangguran”.
Sekiranya
sebagian dosen Fakultas Ekonomi tidak sependapat dengan pandangan atau
keprihatinan kami, dan tetap bersikukuh bahwa sarjana-sarjana ekonomi didikan
kita sudah memenuhi “standar internasional”, yaitu penguasaan teori-teori
ekonomi secara memadai, maka keprihatinan kami bergeser pada pertanyaan mengapa
kita tidak berusaha keras menghasilkan sarjana ekonomi Indonesia yang
benar-benar mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi kongkrit yang dihadapi
bangsa Indonesia. Mengapa dalam upaya pemulihan ekonomi kita tim
ekonomi pemerintah atau para ekonom di EKUIN atau BAPPENAS
dikabarkan selalu menyatakan “tidak ada jalan lain” kecuali dengan cara
berhutang lagi, atau merangsang investor-investor asing baru?
Dalam
menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin
mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia.
Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi Indonesia menganggap bahwa
globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter productive” jika kita mati-matian
melawannya. Benarkah demikian? Mengapa kini banyak buku-buku “anti globalisasi”
diterbitkan, dan sejumlah tokoh ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz
“memberontak” terhadap cara-cara IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara
miskin.
Mungkin
masih tetap banyak yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi
di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau
bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap
merasa tak bersalah, kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya
sedikit, yang setuju dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak
rekan-rekan lainnya yang belum masuk barisan untuk memperkuat
barisan. Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori
ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial
harus kita “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa
Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat.
Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi
harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi,
dan etika Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar