Judul : DEMOKRASI EKONOMI
DAN DEMOKRASI INDUSTRIAL
NAMA ANGGOTA KELOMPOK
1. Paskalina Notanubun (25210323)
2. Adinda putra pangestu (20210165)
3. Tirsa vurgina nur hadist(26210908)
4. Zaldi masruri(28210827)
5. Muhammad ihsan (24210725)
6. Riyani kusumawati(26210084)
KELAS: 2EB 10
ABSTRAK
Membangun
sistem Perekonomian Pasar yang berkeadilan sosial tidaklah cukup dengan
sepenuhnya menyerahkan kepada pasar. Namun juga sangatlah tidak bijak apabila
menggantungkan upaya korektif terhadap ketidakberdayaan pasar menjawab masalah
ketidakadilan pasar sepenuhnya kepada Pemerintah.
Koperasi
Indonesia memang tidak tumbuh secemerlang sejarah koperasi di Barat dan
sebagian lain tidak berhasil ditumbuhkan dengan percepatan yang beriringan
dengan kepentingan program pembangunan lainnya oleh Pemerintah. Krisis ekonomi
telah meninggalkan pelajaran baru, bahwa ketika Pemerintah tidak berdaya lagi
dan tidak memungkinkan untuk mengembangkan intervensi melalui program yang
dilewatkan koperasi justru terkuak kekuatan swadaya koperasi. Lingkungan
keterbukaan dan desentralisasi memberi tantangan dan kesempatan baru membangun
kekuatan swadaya koperasi yang ada menuju koperasi yang sehat dan
kokoh bersatu.
BAB
I PENDAHULUAN
Koperasi
adalah organisasi otonom, yang berada didalam lingkungan sosial ekonomi, yang
menguntungkan setiap anggota, pengurus dan pemimpin dan setiap anggota,
pengurus dan pemimpin merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan
tujuan-tujuan itu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara
bersama-sama (Hanel, 1989).
Akhir-akhir ini
semakin luas dibahas sistem Ekonomi Syariah yang dianggap lebih
adil dibanding sistem ekonomi yang berlaku sekarang khususnya sejak
1966 (Orde Baru) yang berciri kapitalistik dan bersifat makin liberal, yang
setelah kebablasan kemudian meledak dalam bentuk bom waktu berupa krismon tahun
1997. Krismon yang menghancurkan sektor perbankan modern kini tidak saja telah
menciutkan jumlah bank menjadi kurang dari separo, dari 240 menjadi kurang dari
100 buah, tetapi juga sangat mengurangi peran bank dalam perekonomian nasional.
Dalam
pada itu Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5) jelas berorientasi
pada etika (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan kemanusiaan,
dengan cara-cara nasionalistikdan kerakyatan (demokrasi).
Secara utuh Pancasila berarti gotong-royong, sehingga sistem ekonominya
bersifat kooperatif/ kekeluargaan/ tolong-menolong.
Jika
suatu masyarakat/negara/bangsa, warganya merasa sistem ekonominya berkembang ke
arah yang timpang dan tidak adil, maka aturan mainnya harus dikoreksi agar
menjadi lebih adil sehingga mampu membawa perekonomian ke arah keadilan ekonomi
dan sekaligus keadilan sosial.
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Profit-Sharing dan Employee Participation
Prinsip profit-sharing atau
bagi-bagi keuntungan dan resiko yang jelas merupakan ajaran Sistem Ekonomi
Syariah dan Sistem Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah
negara maju (welfare state) yang merasa bahwa penerapan prinsip profit-sharing dan employee
participation lebih menjamin ketentraman dan ketenangan usaha dan
tentu saja menjamin keberlanjutan suatu usaha.Economic democracy is typically
used to denote a variety of forms of employee participation in the ownership of
enterprises and in the distribution of economic rewards. Industrial democracy
refers to the notion of worker participation in decision-making and employee
involvement in the processes of control within the firm. (Poole 1989: 2)
Meskipun
pengertian economic democracy jelas lebih luas dari industrial democracy namun
keduanya bisa diterapkan sebagai asas atau “style” manajemen satu
perusahaan yang jika dilaksanakan dengan disiplin tinggi akan menghasilkan
kepuasan semua pihak (stakeholders) yang terlibat dalam perusahaan.
Itulah demokrasi industrial yang tidak lagi menganggap modal dan pemilik modal
sebagai yang paling penting dalam perusahaan, tetapi dianggap sederajat
kedudukannya dengan buruh/tenaga kerja, yang berarti memberikan koreksi atau
reformasi pada kekurangan sistem kapitalisme lebih-lebih yang bersifat
neoliberal. Prinsip employee participation yaitu partisipasi
buruh/karyawan dalam pengambilan keputusan perusahaan sangat erat kaitannya
dengan asas profit-sharing. Adanya partisipasi buruh/karyawan
dalam decision-making perusahaan berarti buruh/karyawan ikut
bertanggung jawab atas diraihnya keuntungan atau terjadinya kerugian.
Banyak
perusahaan di negara kapitalis yang menganut bentuk negara kesejahteraan (welfare
state) telah menerapkan prinsip profit-sharing dan employee
participation ini, dan yang paling jelas diantaranya adalah bangun
perusahaankoperasi, baik koperasi produksi maupun koperasi konsumsi,
terutama di negara-negara Skandinavia.
2.2
Alasan adanya profit-sharing dan share-ownership
Berdasarkan
penelitian 303 perusahaan di Inggris, alasan perusahaan mengadakan aturan
pembagian laba dan pemilikan saham oleh buruh/karyawan ada 5 yaitu (Poole 1989:
70-71):
1.
Komitmen moral (moral commitment);
2.
Penahanan staf (staff retention);
3.
Keterlibatan buruh/karyawan (employee
involvement);
4.
Perbaikan kinerja hubungan
industrial (improved industrial relations performance);
5.
Perlindungan dari
pengambilalihan oleh perusahaan lain (protection against takeover).
Bisa
dibuktikan bahwa ke-5 alasan yang disebut di sini diputuskan manajemen
perusahaan karena memang benar-benar dialami banyak perusahaan lebih-lebih pada
perusahaan keuangan yang bersaing dengan ketat satu sama lain, dan ada
kebiasaan terjadinya “mobilitas” tinggi dari staf yang berkualitas. Tanpa
kecuali hampir semua cara ditempuh perusahaan untuk meningkatkan kesadaran ikut
memiliki perusahaan bagi buruh/ karyawan yang selanjutnya diharapkan dapat
meningkatkan semangat bekerja yang pada gilirannya berakibat meningkatkan
keuntungan perusahaan. Dalam perusahaan yang berbentuk koperasi, sejak awal
anggota koperasi adalah juga pemilik perusahaan yang disamping dapat memperoleh
manfaat langsung dalam berbisnis dengan koperasi juga pada akhir tahun masih
dapat menerima sisa hasil usaha (yang sering dikacaukan dengan
keuntungan). Inilah “rahasia” berkoperasi yang biasanya tidak ditonjolkan
pengurus karena praktek-praktek manajemen koperasi sering bertentangan dengan
“teori koperasi” yang harus bersifatprofit-sharing. Artinya perusahaan
koperasi sering berubah menjadi “koperasi pengurus” bukan “koperasi
anggota”. Profit-sharing dan sharing ownership sangat
sejalan dengan aturan main Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan
menghindarkan ketimpangan ekonomi dan sosial dan berusaha mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
2.3
Koperasi Indonesia Sulit Maju
Ilmu
ekonomi ternyata tidak meningkatkan “kecintaan” para ekonom pada bangun
perusahaan koperasi yang menonjolkan asas kekeluargaan, karena sejak awal
model-modelnya adalah modelpersaingan sempurna, bukan kerjasama
sempurna. Ajaran ilmu ekonomi Neoklasik adalah bahwa efisiensi yang tinggi
hanya dapat dicapai melalui persaingan sempurna. Inilah awal “ideologi”
ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan sosiologi ekonomi ajaran Max Weber, sosiolog
Jerman, bapak ilmu sosiologi ekonomi. Ajaran Max Weber ini sebenarnya sesuai
dengan ajaran awal Adam Smith (Theory of Moral Sentiments, 1759) dan
ajaran ekonomi kelembagaan dari John Commons di Universitas Wisconsin (1910).
Koperasi
yang merupakan ajaran ekonomi kelembagaan ala John Commons
mengutamakan keanggotaan yang tidak berdasarkan kekuatan modal tetapi berdasar
pemilikan usaha betapapun kecilnya. Koperasi adalah perkumpulan orang atau badan hukum
bukan perkumpulan modal. Koperasi hanya akan berhasil jika manajemennya
bersifat terbuka/transparan dan benar-benar partisipatif.
Keprihatinan kita atas terjadinya kesenjangan sosial,
dan ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan bangsa, seharusnya merangsang
para ilmuwan sosial lebih-lebih ekonom untuk mengadakan kajian mendalam
menemukenali akar-akar penyebabnya. Khusus bagi para ekonom tantangan yang
dihadapi amat jelas karena justru selama Orde Baru ekonom dianggap sudah sangat
berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara meyakinkan sehingga menaikkan
status Indonesia dari negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah. Krisis multidimensi yang disulut krisis moneter dan krisis
perbankan tahun 1997 tidak urung kini hanya disebut sebagai krisis
ekonomi yang menandakan betapa bidang ekonomi dianggap “mencakupi”
segala bidang sosial dan non-ekonomi lainnya.
Why
economists disagree? Dan tidak why
lawyer atau sociologists disagree? Inilah alasan lain
mengapa ekonom Indonesia mempunyai tugas sangat berat sebagai penganalisis masalah-masalah
sosial-ekonomi besar yang sedang dihadapi bangsanya. Perbedaan pendapat di
antara ahli hukum atau ahli sosiologi dapat terjadi barangkali tanpa implikasi
serius, sedangkan jika perbedaan itu terjadi di antara pakar-pakar ekonomi maka
implikasinya sungguh dapat sangat serius bagi banyak orang, bahkan bagi
perekonomian nasional.
BAB
III PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Economists
today are being pushed to accept that they may have to take up the role
of religion if they want to understand the full workings of economic
systems (Nelson 2001: 206)
Bisa
dipahami bahwa akhir-akhir ini makin berkembang pemikiran dan praktek
“bank-bank syariah” yang berarti secara serius memasukkan ajaran-ajaran agama
Islam dalam praktek-praktek perbankan kapitalis yang telah mengakibatkan krisis
moneter dan krisis perbankan, yang sampai 5 tahun tetap belum teratasi. Bahkan
upaya pemerintah menyelamatkan perbankan nasional dengan mengeluarkan dana-dana
amat besar (obligasi rekap perbankan melebihi 50% PDB), tokh tidak menunjukkan
tanda-tanda akan berhasil, selama ajaran-ajaran agama tidak dipergunakan dalam
upaya penyelamatan tersebut.
Di
kalangan agama-agama lain (Katolik dan Hindu) juga makin intensif dibahas
peranan nilai-nilai agama untuk membendung ajaran-ajaran ekonomi neoliberal
yang meluas melalui globalisasi yang makin merajalela.
Yang
dapat dilakukan oleh gereja adalah mendidik umat bersama masyarakat agar
semakin bersedia melepaskan diri dari keserakahan modernisme, konsumerisme, dan
kolonialisme kultural ke arah pemahaman tanggung jawab bersama (Konpernas
XIX Komisi PSE-KW I, September 2002).
Nilai-nilai
agama kini dianggap banyak orang merupakan satu-satunya cara untuk menantang
ajaran-ajaran neoliberal ini karena paham ekonomi kapitalis dari Barat juga
telah menyebarluaskan ajaran-ajarannya “melalui dan dengan metode-metode
agama”.
The
real task of Samuelson’s Economics was of this kind; it was to provide an
inspirational vision of human progress guided by science in order to motivate
Americans and other people to the necessary religious
dedication to the cause of progress. (Nelson 2001: 71).
Ekonomi
Pancasila adalah ajaran ekonomi baru yang agamis sekaligus
manusiawi, nasionalistik, dan demokratis, untuk menantang kerakusan ajaran
Neoliberal yang semakin rakus. Bahwa Depdiknas melalui Dirjen Pendidikan Tinggi
memberikan dukungan kuat pada Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM untuk
mengembangkan ajaran-ajaran ekonomi Pancasila, membuktikan kebenaran perjuangan
moral ini. Ajaran ekonomi Pancasila jelas paralel dengan ajaran Ekonomi Syariah
atau ekonomi Islami karena keduanya menekankan pada ajaran moral-spiritual
untuk membendung ajaran “agama ekonomi kapitalis Neoliberal”.
rnati` � n u �� �� i padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk
gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka
di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan
produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan
Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat
kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa
termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
Demikian
sejarah ekonomi rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak
banyak pakar mengenalnya karena para pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi,
memang hanya menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor
industri dengan hubungan antara faktor-faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan
modal serta teknologi yang jelas dapat diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan
atau pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka
pakar-pakar ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
2.3 Peranan Ilmu Ekonomi
Ilmu
Ekonomi yang diajarkan dan diterapkan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II
yang dirintis awal oleh bukuEconomics An Introductory Analysis (Paul
Samuelson dari MIT, 1946, sekarang tahun 2001 edisi ke-17) dikenal sebagai
teori ekonomi Neoklasik.
Isi ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan
bebas Klasik(Homo
ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran marginal
utility dan keseimbangan umum Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi
Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi
tertentu,selalu menuju
keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang. Artinya jika
pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang
bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai
kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)
Di
Indonesia, sampai dengan krismon tahun
1997, ilmu ekonomi yang dipahami seperti digambarkan di atas menduduki tempat
terhormat di kalangan ilmu-ilmu sosial. Misalnya insinyur yang belajar dan
mengambil derajat tambahan ilmu ekonomi, dan kemudian bergelar Dr. Ir, diakui
memiliki kemampuan “luar biasa” atau keahlian ekstra karena disamping teknolog
juga masuk “kelompok elit teknokrat ekonomi”.
Satu
alasan kuat lain dari tingginya prestise ilmu ekonomi adalah keberhasilan para
Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, dan teknokrat ekonomi lain, dalam
membangun ekonomi Indonesia selama Orde Baru (1966-1997). Dalam setiap kabinet,
tokoh-tokoh ekonomi terutama dari FE-UI menduduki pos-pos utama ekonomi seperti
Menteri Keuangan, Perdagangan, dan Industri. Dan BAPPENAS yang ditugasi
merancang dan mengendalikan pembangunan nasional selalu diketuai pakar ekonomi,
kecuali sejak tahun 1993 yang pimpinannya dipercayakan pada 2 Insinyur. Bagi
sementara orang, krismon tahun 1997 yang tidak diduga datangnya justru disebabkan
antara lain karena kepemimpinan tim ekonomi pemerintah tidak lagi dipegang
ekonom “profesional”.
Pemikiran
yang ingin kami kembangkan adalah bahwa krismon 1997 dan ketimpangan ekonomi
dan sosial yang serius sejak pertengahan tahun delapan puluhan, terutama
disebabkan oleh strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi, dan kurang memperhatikan asas pemerataan dan keadilan. Dan strategi
yang “keliru” ini diterapkan karena ekonom (teknokrat ekonomi) memperoleh
kepercayaan berlebihan dalam penyusunan strategi pembangunan. Terhadap
kesimpulan terakhir para teknokrat banyak yang keberatan karena menurut mereka
ajaran dan nasihat-nasihat yang mereka berikan tidak pernah salah. Yang salah
adalah pelaksanannya, bukan teorinya, lebih-lebih jika diingat bahwa krismon
terjadi setelah tim ekonomi pemerintah semakin dikuasai oleh non-ekonom,
khususnya diBAPPENAS.
2.4 Menggugat Ajaran Ekonomi Neoklasik
Mempertanyakan
kembali ajaran ilmu ekonomi Neoklasik tidaklah unik di Indonesia. Gunnar Myrdal
(1967) menyatakan sejak amat awal bahwa teori ekonomi tidak dikembangkan untuk
menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang (under
developed regions). Bagi negara-negara yang disebut terakhir, belakangan
disebut negara-negara selatan, harus dikembangkan teori lain oleh para ekonom
muda dari negara-negara sedang berkembang sendiri. J.H.Boeke, ekonom Belanda,
menyatakan hal yang sama jauh sebelumnya dalam disertasinya tahun 1910, dan
diperkuatnya dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ekonomi kolonial tropik tahun
1930 di Universitas Leiden. Pada tahun 1979 dalam pidato pengukuhan Guru Besar
di Universitas Gadjah Mada, kami secara eksplisit menyatakan bahwa teori
ekonomi Neoklasik bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian tetapi tidak
menolong untuk mengadakanpemerataan dan
mewujudkan keadilan.
Selanjutnya mengikuti ajaran Joan Robinson (1962), yang menekankan bahwa ilmu
ekonomi membahas sistem ekonomi, bukan tentang ahli-ahli ekonomi, maka dalam
buku Membangunan Sistem Ekonomi (BPFE,
2000), kami lebih spesifik lagi menunjukkkan bahwa ideologi Pancasila yang
telah diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia harus, mau tidak mau,
dijadikan landasan sistem ekonomi nasional. Maka sistem ekonomi Indonesia
adalah, tidak lain, Sistem Ekonomi Pancasila.
Meskipun
secara politis Pancasila, dan kerakyatan sebagai sila ke-4, sudah diterima dan
dapat dijadikan acuan sistem ekonomi nasional, tokh dalam kenyataan, para
pakar, khususnya pakar ekonomi, merasa sulit atau enggan memasukkannya dalam
“model” pembangunan ekonomi. Lebih-lebih dengan munculnya kembali ajaran
liberalisasi dan globalisasi pertengahan tahun delapan puluhan, yang dijiwai
atau diilhami semangat neoliberalisme, keunikan ideologi Pancasila makin
dipertanyakan, dan dianggap tidak akan mampu menghadapi ideologi global
neoliberalisme. “Daripada susah-susah akan lebih baik kita mengikuti ideologi
global Kapitalisme-Neoliberalisme, yang sejak 1989-1990 memang
telah mengalahkan paham saingannya yaitu Sosialisme.” Demikian sikap menyerah
kalah ini banyak menghinggapi tokoh-tokoh ekonom kita, yang pada awal Orde Baru
(1996) pernah sangat percaya perlunya Indonesia membangun masyarakat sosialisme
Pancasila atau Sosialisme berdasarkan Pancasila (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
Dewasa ini
makin banyak ditemukan buku yang menentang arus globalisasi yang menggunakan
teori ekonomi neoklasik dan diperkuat paham Neo-liberalisme. Perlawanan dan
bahkan pemberontakan terhadap dominasi ajaran/resep-resep IMF dan Bank Dunia
dipimpin ekonom-ekonom yang pernah bekerja di IMF atau Bank Dunia sendiri, yang
paling terkenal adalah Joseph Stiglitz (Ha-Joon Chang, 2001).
The
straight forward view of development as an upward climb, common to all nations
but with different countries at different stages, is misleading and certainly
inadequate for the twenty-first century. (Jonathan M. Harris et al, A Survey of Sustainable
Development, Island Press, 2001) .
Demikian
kini tidak hanya praktek pembangunan yang dipertanyakan, tetapi teori yang
melandasi praktek-praktek pembangunan itu sendiri mulai digugat. Jika tahun
1995 sudah terbit buku Paul Ormerod berjudul The Death of Economics,
kini terbit lagi buku Debunking Economics: The Naked Emperor of the
Social Sciences oleh Steve Keen (Pluto Press, Australia, 2001). Buku ini
menolak total ajaran ekonomi Neoklasik, yang disamping benar-benar tak berguna
juga pengajarannya seperti “indoktrinasi”. Dalam buku lain, Economics
as Religion (Pennsylvania State UP, 2001), Robert Nelson juga menolak
ajaran Neoklasik yang sudah menjadi semacam agama.
Beneath
the surface of their economic theorizing, economist are engaged in an act of
delivering religious messages. Correctly understood these messages are seem to
be promises of the true path to a salvation in world to a new heaven on earth. (RH. Nelson, 2001, h. 20).
Alasan
kuat penerimaan dan penerapan teori ekonomi neoklasik adalah bahwa ia merupakan
satu-satunya teori yang tersedia sehingga “tidak ada alternatif”. Untuk
menjawab keberatan demikian, Debunking Economics secara khusus
menutup bukunya dengan alternatif-alternatif berikut: (Keen, 2001, h.300).
- Austrian
Economics, yang menerima banyak ajaran
ekonomi Neoklasik kecuali konsep keseimbangan.
- Post
Keynesian Economics, yang sangat kritis terhadap
ajaran Neoklasik dan menekankan pada pentingnya ketidakpastian.
- Sraffian
Economics, mendasarkan pada konsep
produksi komoditi oleh komoditi.
- Complexity
Theory, yang menerapkan konsep
dinamika non linear dan teori kekacauan terhadap isu-isu ekonomi.
- Evolutionary
Economics, yang memperlakukan
perekonomian sebagai sistem evolusi ala Darwin.
Dari
ke-5 “alternatif” terhadap teori ekonomi Neoklasik tersebut, teori ekonomi
evolusioner mencakup apa yang dikenal dengan teori ekonomi kelembagaan yang
mula-mula diusulkan Thorstein Veblen (1898), dan kemudian dikembangkan oleh
John R. Commons (1904-1905) di Wisconsin. Ekonomi kelembagaan ala John
Commons menunjukkan betapa teori ekonomi bisa sangat relevan untuk memecahkan
masalah-masalah sosial yang secara nyata dihadapi masyarakat pada waktu dan
tempat tertentu, dan sebaliknya bisa terasa begitu aneh dan mandul pada waktu
dan tempat lain sebagaimana dirasakan 4-5 tahun terakhir di Indonsia.
Menjelang
krismon di Indonesia bulan Juli 1997, 4 tahun setelah Indonesia dipuja-puji
sebagai salah satu “Keajaiban Asia”, karena pertumbuhan ekonomi yang cepat
dengan pembagian pendapatan “sangat merata”, pakar-pakar ekonomi Indonesia
maupun pakar-pakar ekonomi asing di Indonesia “sesumbar” bahwa tidak mungkin
ekonomi Indonesia mengalami krisis keuangan. “Indonesia bukan Thailand”, dan
tahun 2001 dikatakan “ Indonesia bukan Argentina”. Jika keberhasilan
pembangunan ekonomi Indonesia sering dikatakan karena para teknokrat (ekonom)
telah secara cerdas menerapkan terori ekonomi Neoklasik, maka krismon tentunya
tidak mungkin melanda Indonesia yang memilikifundamental ekonomi kuat seperti inflasi rendah, cadangan
devisa kuat, dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sesungguhnya kasus Indonesia
menunjukkan kelemahan teori ekonomi neoklasik yang tidak mampu memberikan peringatan
dini akan ancaman bahaya krismon padahal sejumlah ilmuwan sosial lain khususnya
sosiolog dan anthropolog sudah berulang kali mengingatkannya. Kami sendiri pada
tahun 1981 menulis artikel “keras” yang mengingatkan bahaya “penyakit kanker”
yang sudah menyerang ekonomi Indonesia, tetapi dianggap para ekonom Neoklasik
sebagai dagelan yang tidak lucu atau teori ekonomi yang “ngawur”. Demikian pada
editorial majalah “Business News” (4 Agustus 1984) pandangan
kami tentang “Ekonomi Pancasila” diputar balik dan dianggap “menolak
pertumbuhan”, sehingga “tidak laku di Jakarta”.
2.5 Pengajaran Ilmu Ekonomi
Satu
kesalahan besar yang berubah menjadi semacam dosa dari dosen-dosen pengajar
ekonomi di Universitas-universitas di Indonesia adalah bahwa mereka hanya
mengajarkan separo saja dari ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith
tentang Manusia Sosial (homosocialis, tahun 1759) dilupakan atau tidak
diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai
homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta. Menurut konsep terakhir
manusia bersifat egois dan selfish, yang tidak pernah mau tahu
kepentingan orang lain meskipun yang benar adalah sebaliknya :
Man
it has been said, has a natural love for society, and desires that
the union of mankind should be preserved for its own sake, and though the
himself was to derive no benefit form it. (Adam
Smith, 1759 h. 9).
Dosa
ke-2 dari dosen-dosen ilmu ekonomi adalah mengajarkan secara penuh metode
analisis deduktif dari
teori ekonomi neoklasik, padahal seharusnya disadari bahwa Alfred Marshall dan
Gustave Schmoller sebelumnya, yang merupakan tokoh-tokoh teori ekonomi
Neoklasik, memesankan secara sungguh-sungguh dipakainya dua metode secara
serentak (deduktif dan induktif), laksana 2 kaki (kanan dan kiri) untuk
berjalan. Ajaran asli Mazhab sejarah Jerman inilah yang sesungguhnya dan
seharusnya mengingatkan peristiwa pergulatan metode (metodensreit) pakar-pakar
ekonomi tahun 1873-1874 dalam penggunaan model-model matematika yang kebablasan
dan sekaligus mengabaikan data-data sejarah yang relevan. Mengajarkan ilmu
ekonomi matematika (matematika ekonomi) dianggap lebih gagah dibandingkan
keharusan membaca data-data sejarah dalam buku-buku tebal, meskipun jelas
mempelajari sejarah lebih relevan. Selain itu mengajar ekonomika secara induktif-empirik memang
membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak, dan jika waktu sangat mendesak atau
terbatas, maka mengajar dengan metode deduktif memang merupakan pilihan yang
mudah.
Kita
tentu berterima kasih dan bersyukur ada ilmu sosial yang bernama ilmu ekonomi
yang telah berjasa membantu manusia menyusun resep-resep dan model-model yang
semakin canggih untuk membangun perekonomian modern, dengan akibat standar
kehidupan manusia juga semakin tinggi. Ekonomi Indonesia yang pada tahun-tahun
awal kemerdekaan selama dua dasawarsa (1945-1966) merupakan perekonomian
agraris yang terbelakang, kini sudah jauh lebih maju dan modern dengan standar
hidup manusia rata-rata hampir 10 kali lipat. Pertanyaannya, apakah kemajuan
tersebut merupakan jasa Ilmu Ekonomi? Mungkin lebih tepat pertanyaannya diubah
menjadi sejauh mana ilmu ekonomi telah menyumbang pada kemajuan tersebut. Jika
jawaban atas pertanyaan ini negatif, artinya sumbangan ilmu ekonomi hanya kecil
saja dibanding ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu-ilmu teknik, pertanian, atau
kesehatan, maka tidak ada masalah. Masalah akan timbul jika ilmu ekonomi
dikatakan berperan sangat besar dan menentukan dalam pembangunan
nasional terutama sejak Orde Baru, dengan keterangan lebih lanjut bahwa para
teknokrat ekonomilah yang telah berjasa besar, karena mereka menduduki
posisi-posisi kunci dalam pemerintahan dan lembaga perencanaan ekonomi serta
menjadi penetu-penentu kebijaksanaan pembangunan.
Memang
tidak mungkin kita berteori seandainya pada awal Orde Baru bukan ekonom, tetapi
sosiolog atau anthropolog yang lebih berperanan, apakah hasilnya akan berbeda,
lebih baik atau lebih buruk. Namun jika era Orde Baru kini dianggap telah
berakhir dan kini kita mengadakan reformasi dalam segala bidang termasuk
reformasi ekonomi, tidak sahkah jika kita juga menggugat yang salah dalam
pembangunan ekonomi, dan peranan ilmu ekonomi di dalamnya? Lebih jauh kiranya
kita berhak mempertanyakan jangan-jangan jika ilmu ekonomi jenis lain yang kita
terapkan dan kita ajarkan di Indonesia sejak lahirnya fakultas-fakultas
ekonomi, kondisi masyarakat (ekonomi) kita lebih baik dari sekarang. Ilmu
ekonomi lain sudah ada dan berkembang di dunia termasuk di Amerika Serikat,
hanya saja karena ilmu ekonomi Neoklasik memang memegang monopoli untuk
diajarkan di AS dan negara Eropa Barat lain, maka ilmu ekonomi itulah yang juga
diajarkan dan diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lain.
Salah
satu kelemahan amat menonjol dari Ilmu Ekonomi Neoklasik adalah keengganannya untuk
memasukkan faktor budaya dan masalah keadilan dalam model analisisnya. Bagi
Indonesia yang berideologi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila, maka pembangunan ekonomi dan ilmu ekonomi yang melandasi
penyusunan kebijakan-kebijakan harus mempertimbangkan faktor keadilan ekonomi
dan keadilan sosial. Dan ilmu ekonomi yang diajarkan di Fakultas-fakultas
Ekonomi haruslah ilmu ekonomi kelembagaan ajaran John R. Commons yang
dikembangkan di University of Wisconsin Madison tahun 1904-05.
BAB III PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Satu
tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa
sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda
dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan
memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana
ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir
ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan
masayarakat di daerah. Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak
dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol
berpikir tentang ekonomi. Tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih
cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang
rasional ketimbang sarjana ekonomi.
Kesimpulan
kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita
kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan
lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang
mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat
tindakan seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia
adalah homo-economicus cenderung
mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan kepentingan
orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi mengajarkan
keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik kepentingan
ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi rakyat, para
sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak konglomerat. Dan lebih
gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau melawan konglomerat, dianggap
bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan upah minimum propinsi (UMP) tidak
diragukan bahwa jika tidak mau di sebut “bukan ekonom” anda harus berpihak pada
majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan UMP “pasti berakibat pada
meluasnya penggangguran”.
Sekiranya
sebagian dosen Fakultas Ekonomi tidak sependapat dengan pandangan atau
keprihatinan kami, dan tetap bersikukuh bahwa sarjana-sarjana ekonomi didikan
kita sudah memenuhi “standar internasional”, yaitu penguasaan teori-teori
ekonomi secara memadai, maka keprihatinan kami bergeser pada pertanyaan mengapa
kita tidak berusaha keras menghasilkan sarjana ekonomi Indonesia yang
benar-benar mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi kongkrit yang dihadapi
bangsa Indonesia. Mengapa dalam upaya pemulihan ekonomi kita tim
ekonomi pemerintah atau para ekonom di EKUIN atau BAPPENAS
dikabarkan selalu menyatakan “tidak ada jalan lain” kecuali dengan cara
berhutang lagi, atau merangsang investor-investor asing baru?
Dalam
menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin
mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia.
Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi Indonesia menganggap bahwa
globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter productive” jika kita mati-matian
melawannya. Benarkah demikian? Mengapa kini banyak buku-buku “anti globalisasi”
diterbitkan, dan sejumlah tokoh ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz
“memberontak” terhadap cara-cara IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara
miskin.
Mungkin
masih tetap banyak yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi
di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau
bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap
merasa tak bersalah, kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya
sedikit, yang setuju dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak
rekan-rekan lainnya yang belum masuk barisan untuk memperkuat
barisan. Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori
ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial
harus kita “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa
Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat.
Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi
harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi,
dan etika Pancasila.
Syukron katsiron..
BalasHapussemoga bermanfaat.,.
:)